Aturan di RUU Pemilu yang Jegal Partai Baru Usung Capres Dinilai Bisa Timbulkan Masalah Hukum
Jimmy menjelaskan, partai politik merupakan satu di antara instrumen pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana revisi Undang-Undang Pemilu yang satu di antara draftnya menyuratkan tidak diperbolehkannya partai politik baru mengusung calon presiden dan wakil presiden dinilai potensial menimbulkan permasalahan hukum.
Jimmy Yansen SH, Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPP Garda Rajawali Perindo (Grind) berpendapat aturan yang mengatur mengenai partai politik baru dilarang mengusung pasangan capres/cawapres adalah inkonstitusional jika benar-benar dimasukkan dalam draf RUU Pemilu.
Jimmy menjelaskan, partai politik merupakan satu di antara instrumen pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Hal itu, kata dia merujuk pada UU No 2 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU No 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik.
"Setelah suatu organisasi yang telah memenuhi syarat berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan ditetapkan dan disahkan sebagai partai politik, maka seketika itu juga ia menyandang fungsi pelaksana kedaulatan rakyat khususnya dalam suksesi kepemimpinan nasional," katanya dalam keterangannya, Minggu (9/10/2016).
Dalam UUD 1945, katanya, memang tidak ditemukan definisi partai politik.
Namun, proses suksesi kepemimpinan nasional dan peralihan kekuasaan baik itu pengisian jabatan presiden dan wakil presiden, maupun pengisian keanggotaan dewan perwakilan rakyat di pusat dan di daerah, secara konstitusional wajib melibatkan partai politik.
"Tanpa adanya keterlibatan partai politik, maka pengisian jabatan presiden dan wakil presiden serta keanggotaan dewan perwakilan rakyat, justru akan menjadi inkonstitusional (Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945)," ujarnya.
Partai politik, lanjutnya memiliki fungsi sebagai wadah aktualisasi dari pelaksanaan hak asasi manusia khususnya di bidang politik.
Tanpa partai politik, mustahil hak-hak konstitusional rakyat di bidang politik (hak memilih dan dipilih) dapat benar-benar terwujud.
"Apabila usulan draft pasal tentang larangan bagi parpol baru untuk mengusung pasangan capres/cawapres benar-benar dimasukan dan disahkan dalam RUU Pemilu, maka draft pasal tersebut adalah inkonstitusional dan beralasan menurut hukum untuk diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 6A ayat (2)," katanya.
Diberitakan, pemerintah telah menyelesaikan rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum sebagai landasan pelaksanaan Pemilihan Presiden 2019 mendatang.
Salah satu aturan baru yang menjadi sorotan adalah penggunaan hasil Pemilu Legislatif 2014 sebagai syarat bagi parpol mengusung pasangan calon di Pemilu Presiden 2019.
Dilansir Kompas.com, draf RUU Pemilu ini diatur dalam Pasal 190 yang berbunyi: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya."
Jumlah ambang batas yang diatur dalam UU baru ini sama persis dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden.
Hanya, dibuat ketentuan baru dalam frasa 'periode sebelumnya'.
Sementara, dalam pasal 192, dibuat juga aturan baru bahwa bagi parpol yang belum mengikuti pemilu legislatif periode sebelumnya, wajib bergabung dengan partai lama jika ingin mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Namun, parpol baru tersebut tidak bisa berkontribusi menyumbangkan kursi atau suara untuk membantu koalisinya melewati ambang batas yang sudah ditetapkan.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sebelumnya mengatakan, ketentuan baru ini dibuat karena berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden mulai 2019 digelar secara serentak.