Perludem: Hindari Pembahasan Tertutup Pemerintah dan DPR Bahas Revisi UU Pemilu
Penyerahan RUU yang jauh terlambat dari target awal ini tentu saja menjadi titik awal untuk menyusun regulasi
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menandatangani Surat Presiden (Surpres) untuk menyerahkan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum ke DPR.
Surpres Bernomor R-66/Pres/10/2016 tertanggal 20 Oktober 2016 itu juga sekaligus memberikan kuasa kepada Menteri Dalam Negeri, Mentri Keuangan, dan Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mewakili presiden membahas RUU tersebut dengan DPR.
Penyerahan RUU yang jauh terlambat dari target awal ini tentu saja menjadi titik awal untuk menyusun regulasi Pemilu serentak 2019.
Atas hal itu Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai banyak tantangan yang akan dihadapi oleh Pemerintah dan DPR dalam menyusun RUU ini.
Tantangan-tantangan itu diantaranya, tentu saja soal waktu yang sangat sempit, ditengah banyak isu yang akan dibahas.
Keadaan semakin rumit ketika banyak kepentingan yang berkelindan di dalam RUU Pemilu ini.
Kondisi tersebut bisa diterima, karena Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini katakan, memang yang akan saling berbenturan adalah kepentingan elit politik untuk merebut kuasa dalam Pemilu 2019.
Pemerintah dan DPR pastinya mahfum dengan keadaan ini.
"Oleh sebab itu, proses pembahasan mesti dilakukan secara fokus, efektif, dan betul-betul mendengarkan aspirasi dari banyak pemangku kepentingan pemilu, terutama pemilih," ujarnya kepada Tribunnews.com, Minggu (23/10/2016).
Selain itu, proses pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu ini mesti memperhatikan sungguh-sungguh tujuan pemilu sebagaimana yang selalu disebutkan di dalam setiap undang-undang pemilu.
Beberapa diantaranya adalah meningkatkan partisipasi dan pendidikan politik masyarakat, memperkuat sistem presidensil, dan melakukan pembenahan dan perbaikan partai politik.
Lebih dari itu, pendekatan utama yang mesti dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah, penyusunan dan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu untuk 2019 betul-betul berangkat dari evaluasi pemilu sebelumnya.
Untuk bisa melakukan itu, Pemerintah dan DPR mesti dengan rendah hati melakukan pembahasan secara terbuka, pasrtisipasitif, dan mendengar masukan penyelenggara pemilu dan masyarakat.
Dengan begitu, proses penyusunan RUU Penyelenggaraan pemilu tidak hanya terbelenggu dengan kepentingan politik pragmatis saja.
Karena membangun regulasi pemilu yang kuat, adalah salah satu fondasi utama untuk mewujudkan transisi demokrasi untuk pemilu serentak.
Disamping itu, proses pembahasan yang berlangsung secara tertutup menjadi salah satu hal yang mesti dihindari oleh Pemerintah dan DPR.
Jika dilihat dari kecendrungan pada revisi UU Pilkada yang terakhir misalnya, waktu pembahasan yang mepet dan singkat membuat Pemerintah dan DPR melakukan pembahasan secara tertutup dan nihil partisipasi dan masukan dari banyak kalangan.
Terakhir, imbuhnya, Presiden sebagai pengusul RUU ini mesti bersikap tegas sejak awal.
Pilihan politik legislasi yang diinginkan presiden mesti betul-betul bisa diimplementasikan dan diperjuangkan oleh kuasanya di DPR (Kemendagri, Kemenkeu, dan Kemenkum HAM).
Salah satunya tentu saja untuk tetap mempertahankan sistem pemilu anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota atau Pileg dengan penentuan calon terpilih dengan suara terbanyak (proporsional daftar terbuka).
"Kalau pun nanti ada hal yang mesti dikompromikan dalam proses pembahasan di DPR, presiden mesti mendapat informasi yang utuh terkait hal itu," ucapnya.
"Presiden juga mesti memberikan batasan yang jelas, sejauh mana kompromi itu bisa disetujui," jelasnya. (*)