Pengamat: Jokowi Bisa 'Selesai' Kalau Militer Main Mata dengan Massa Demo 4 November
Jutaan massa sudah mengepung Istana Merdeka dari tujuh mata angin, namun mereka tetap berpegang teguh pada niat awal, yakni aksi damai.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago berpendapat bahwa tak ada unsur politisasi kepada sejumlah ormas Islam saat aksi demo dugaan kasus penistaan agama Jumat (4/11/2016) lalu.
Isu lainnya yang juga terbantahkan yakni soal kudeta terhadap Presiden Jokowi. Padahal menurut Pangi, pada Jumat itu, jutaan massa sudah mengepung Istana Merdeka dari tujuh mata angin, namun mereka tetap berpegang teguh pada niat awal, yakni aksi damai.
Pangi menegaskan, jika aksi damai 411 dipolitisasi oleh pihak tertentu, maka seharusnya dengan jumlah massa yang mencapai jutaan, dan ditambah adanya kesepakan bersama antara militer dan massa, sangatlah mungkin dan mudah menjatuhkan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) malam itu. Tapi faktanya, hal itu tidak terjadi dan ini menepis dugaan adanya kudeta.
Pangi menilai, jika kemarin terdapat deal-deal politik termasuk kesepakatan bersama antara militer dan massa, maka sangat mudah membuat presiden jatuh, karena menumbangkan presiden dengan massa yang jumlahnya jutaan bukan hal yang mustahil.
"Kalau saja militer main mata dengan aksi massa atau terjadi kompromi politik berupa persekongkolan jahat, selesai Presiden Jokowi. Militer yang didukung rakyat bisa memuluskan kudeta," ujar Pangi melalui pesan singkatnya, Kamis (10/11/2016)
Hal itu juga disebut Pangi sebagai bukti bahwa TNI sangat solid dan loyal melindungi rakyat, menjaga persatuan dan keberagaman bangsa Indonesia, serta tetap setia di bawah komando Presiden Jokowi.
"Karena militer solid dan setia kepada rezim Presiden Jokowi, tak ada yang berkhianat. Opini sesat, kalau kemudian menguatnya isu kudeta gagal yang dipancarkan hanya opini kudeta di dunia maya," tutur Pangi.
Pangi menambahkan, bahwa yang mampu melakukan kudeta terhadap pemimpin negara adalah militer yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap.
"Di mana-mana yang bisa melakukan kudeta adalah militer, rakyat nggak punya senjata. Nggak ada sejarah kudeta rakyat. Militer yang punya senjata. Kemarin ada nggak militer mengeluarkan satu pelor saja, ugal-ugalan menembak rakyat? Di mana mana biasanya rakyat hanya sekedar pemantik kudeta," papar Pangi.
Lebih jauh Pangi mengatakan, jika ada dugaan demo 411 dipolitisasi, maka presiden mesti menjajaki dan menelusuri siapa aktor politik yang menungangi di balik demontrasi kemarin agar opini tersebut tidak menjadi liar. Apabila hal tersebut benar adanya, presiden bisa mencegah kemungkinan negatif yang akan terjadi.
Fakta ini juga menguatkan fakta lainnya, yang menunjukkan bahwa demo 411 adalah murni kegelisahan dan kemarahan rakyat atas lambatnya kejelasan proses hukum dan terkesan ada indikasi-indikasi dugaan keberpihakan pemerintah terhadap Ahok, ini murni gerakan sejuta umat (people power) menegakkan partikel keadilan demi menjaga keberagaman dan toleransi keindonesian kita," tegas Pangi.
Terlebih lagi statement Ahok, memang telah memasuki wilayah yang tidak bisa dibatasi ruang waktu yang amat sangat sensitif bagi keberagaman umat, terlepas dari segala hal terkait aturan bahasa yang ada. Namun memang tidak sepatutnya seorang pejabat publik terjun bebas ke wilayah yang sangat sensitif, mengeluarkan statement yang bersinggungan dengan isu-isu keagamaan, apalagi hal tersebut dilontarkan menjelang pilkada DKI.
Dalam hal orasi aksi damai 411, Fahri Hamzah menjalankan fungi dan kedudukannya sebagai anggota DPR RI, itu perintah dan dilindungi konstitusi. Kalau eksekutif salah, maka legislatif yang mengontrol, ruang itu lah yang sedang diisi oleh Fahri dan Fadli Zon.
"Jangan sampai panggung opini publik sibuk kepada yang tidak subtansial dan pada ujungnya mengaburkan dan mengeser persoalan inti (substansial). Hubungan sebab dan akibat (kausalitas) nggak bakal muncul bahasa atau perkataan keras dan sikap anarkisme kalau saja presiden berani menemui aksi massa 411, presiden juga harus intropeksi diri dan 'ngaca' menggapa kabur dan tak mau menemui rakyatnya? Kalau karena alasan keamanan presiden tidak menemui rakyatnya, berarti umat mayoritas sudah dianggap ancaman bagi presiden, reason yang kurang tepat dan relatif tak masuk akal. Ingat suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Yang ingin bertemu presiden, jauh jauh dari daerah, justru presiden kabur," papar Pangi.
Perdebatan tentang siapa dalang atau otak dibalik aksi massa, provokator, aktor politik yang menungangi, lanjut Pangi sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi dipompakan opini tersebut. Hal itu justru kan menguras energi presiden sendiri.
Jauh lebih baik presiden mengurai silang sengkarut persoalan hulunya, demi semangat toleransi, keberagaman dan persatuan NKRI. Lebih bermanfaat kalau kita fokus kepada kewajiban negara dalam menegakkan partikel keadilan dan kebenaran, berdiri tegak di atas semua kepentingan kelompok dan golongan, tidak boleh terkesan berat sebelah.
"Jangan sampai terlambat, menjungkirbalikkan realitas dan fakta. Presiden jangan sampai sibuk pada level hilirnya (akibat) sementara level hulunya (sebab) seperti nampak dibiarkan," tandas Pangi.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.