Trauma Oleh Tangan Manusia Lebih Berat Ketimbang Karena Bencana Alam
tindakan kekerasan seperti di Samarinda, apalagi jika secara sengaja ditujukan pada anak-anak, merupakan kejahatan yang sangat keji.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri Amriel menyatakan, pelaku bom Samarinda, siapa pun orangnya, apa pun agamanya, sangat jelas bahwa aksi yang dilakukannya sama sekali tidak merefleksikan nilai-nilai religi.
"Dalam Islam misalnya, melakukan tindak perusakan rumah ibadah dan melancarkan kekerasan terhadap anak-anak yang tak terbantahkan, merupakan dua tindakan yang dilarang keras, bahkan dalam situasi perang sekali pun," kata Reza kepada Warta Kota, Senin (14/11/2016).
Menurutnya, setelah kelompok-kelompok teror belakangan ini terindikasi melakukan perekrutan terhadap anak-anak, jangan sampai para manusia haus darah itu juga menyasar anak-anak sebagai sasaran mereka.
"Sebab trauma, apa pun sumbernya, niscaya menyakitkan. Tapi, trauma yang diakibatkan oleh ulah tangan manusia atau bencana kemanusiaan berdampak lebih buruk ketimbang bencana alam. Karena itu, dibutuhkan penanganan komprehensif terhadap korban, khususnya anak-anak," tuturnya.
Ia mengatakan, sebagaimana anak yang mengandalkan orangtua mereka sebagai pelindung, keluarga pun mengharapkan kehadiran otoritas terkait sebagai pemberi jaminan keamanan.
"Itu berarti, semakin cepat dan efektif penanganan oleh otoritas berwenang, dan langkah-langkah penanganan itu disaksikan keluarga korban, semakin solid pula pondasi bagi pulihnya kondisi anak-anak yang menderita trauma," imbuh Reza.
Menurutnya, tindakan kekerasan seperti di Samarinda, apalagi jika secara sengaja ditujukan pada anak-anak, merupakan kejahatan yang sangat keji.
"Kekerasan dalam operasi pemberantasan teror, seperti yang disaksikan oleh anak-anak TK di Klaten beberapa waktu lalu, juga pada dasarnya bukan sesuatu yang bisa ditoleransi. Keduanya masalah serius. Jangan sepelekan efek kekerasan verbal dan psikis terhadap anak-anak, termasuk kekerasan di masyarakat (community violence), berupa penghinaan dan ungkapan-ungkapan peyoratif lainnya seperti yang kerap diperagakan oleh sebagian elite dan kian marak pada masa kontestasi politik," papar Reza.
Ia menambahkan, kekerasan lisan di masyarakat barangkali tidak seketika memunculkan guncangan psikis.
"Tapi sebaliknya, terbiarkannya kekerasan semacam itu dapat memberikan pembelajaran kontraproduktif kepada anak-anak, bahwa kekerasan psikis dan lisan ternyata merupakan bentuk perilaku yang dimaklumi," ulas Reza. (Budi Sam Law Malau)