Friedrich Silaban, Anak Pendeta Miskin Pembangun Masjid Istiqlal
Penganut Kristen Protestan dan anak seorang pendeta miskin itu telah melahirkan berbagai bangunan modern pada masanya hingga kini menjadi bersejarah.
Udara di dalam masjid begitu sejuk walau tanpa dilengkapi pendingin ruangan. Sebab, Silaban membuat dinding sesedikit mungkin supaya angin leluasa masuk. Silaban ingin umat yang sembahyang di masjid itu seintim mungkin dengan Tuhan.
Haji Nadi, haji asli Betawi yang sembahyang di masjid itu, dalam surat kabar Kompas edisi yang sama mengatakan, "Berada di masjid ini saya merasa betapa besarnya umat Islam."
Dari Gambir ke penjuru dunia
Dikutip dari buku Rumah Silaban; Saya adalah Arsitek, tapi Bukan Arsitek Biasa, Silaban mulai tertarik dengan dunia arsitektur sejak sekolah di Jakarta.
Sayang, "Perderik", demikian dia dipanggil sang ayah, tak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas karena persoalan biaya.
Arsitek Friedrich Silaban (kiri) bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir Sutami, sedang mengamati bangunan Masjid Istiqlal. (Sindunata/KOMPAS)
Karier Silaban di dunia arsitek diawali saat bersekolah di Jakarta. Dia sangat tertarik pada desain bangunan Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia, 1929, buatan arsitek Belanda, JH Antonisse.
Setelah lulus sekolah, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Dia pun dipekerjakan sebagai pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintahan kolonial. (Baca: Perjalanan Istiqlal, Kisah Takdir dan Toleransi...)
Kariernya terus meningkat hingga akhirnya ia menjabat sebagai Direktur Pekerjaan Umum tahun 1947 hingga 1965. Jabatannya itu membawa Silaban ke penjuru dunia.
Tahun 1949 hingga 1950, Silaban ke Belanda mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst atau akademi seni dan bangunan.
Pada saat inilah, Silaban mendalami arsitektur Negeri Kincir Angin itu dengan melihat dan "menyentuhnya" secara langsung.
Tidak hanya Belanda, setidaknya 30 kota besar di penjuru dunia telah dikunjungi Silaban. Tujuannya satu, mempelajari arsitektur di negara-negara tersebut.
Perjalanannya ke penjuru dunia, terutama setelah kunjungannya ke India, menyiratkan satu hal bahwa jiwa sebuah bangsalah yang mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut.
Perjalanan Silaban itu memengaruhi keinginannya dalam "manifestasi identitas asli Indonesia; negara yang bebas dan progresif" melalui karya-karyanya di Tanah Air.
Tutup usia