Anggota DPR: Memaksakan Umat Muslim Pakai Atribut Natal Melanggar Konstitusi
Anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Al Habsy, sepakat dengan pernyataan Kapolri bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia bukan sumber hukum di Indonesia.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Al Habsy, sepakat dengan pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian bahwa Fatwa Majelis Ulama Indonesia bukan sumber hukum di Indonesia.
"Apa yang disampaikan oleh Kapolri tidak salah, fatwa MUI memang bukan sumber hukum di Indonesia," kata Aboe melalui pesan singkat, Rabu (21/12/2016).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai, aturan hukum di Indonesia dibuat berdasarkan TAP MPR nomor III tahun 2000 dan Undang-undang nomor 12 tahun 2011.
Dalam aturan itu dinyatakan bahwa fatwa MUI bukan salah satu instrumen hukum.
"Jadi, tidak bisa dijadikan rujukan dalam pembentukan hukum positif," tegasnya.
Namun, dia mengingatkan, yang perlu dipahami fatwa MUI ada guidelines untuk umat Islam. MUI memiliki tanggung jawab untuk membimbing umatnya agar tidak salah dalam menerapkan ajaran agama.
Karenanya untuk kalangan nonmuslim seharusnya menghormati ajaran agama Islam sebagaimana difatwakan oleh MUI.
"Toleransi bukan berarti harus melanggar fatwa MUI ataupun ajaran agama," tuturnya.
Jika dalam Islam dikatakan haram memakai atribut Natal, maka kata Aboe memaksakan karyawan menggunakan atribut Natal adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Menurut dia, memaksa karyawan memakai atribut Natal tidaklah melanggar Fatwa MUI.
"Tetapi, melanggar konstitusi," tegasnya.
Aboe berpendapat ketika seorang muslim ingin mengikuti Fatwa MUI, maka negara seharusnya memberikan perlindungan.
"Karena ini adalah amanat konstitusi NKRI," katanya.
Menurutnya, hak untuk beragama merupakan non-derogable rights, yaitu hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Hal ini diatur dalam pasal 28I ayat (1) Undang-undang Dasar 1945.
"Hak beragama seperti ini tidak dapat dikurangi 'dalam keadaan apa pun' termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat," paparnya.
"Ketentuan tersebut sebagaimana penjelasan pasal 4 UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia," ujarnya.
Dia mengatakan, bila dalam keadaan perang saja hak beragama tidak dapat dikurangi, apalagi hanya dalam perayaan Natal. "Saya kira masih banyak teknik marketing yang bisa digunakan oleh pengusaha tanpa merusak kebhinekaan," ujarnya.
Menurut Aboe, di sinilah tugas aparat penegak hukum untuk menjaga tertib sosial. Dia mengingatkan, jangan sampai karena alasan perayaan hari keagamaan tertentu lantas memaksakan kehendaknya dan mengabaikan toleransi antarumat beragama.
"Yang paling penting, penegak hukum harus memahami benar isi konstitusi dan menjaganya dengan baik untuk kedaulatan dan keutuhan NKRI," tandasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.