Carut Marut Data Kriminalitas Berdampak Buruk Terhadap Strategi Penegakan Hukum
"Carut-marutnya pencatatan kriminalitas di Indonesia berimplikasi pada buruknya perencanaan penegakan hukum,"
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI menyayangkan pengelolaan data kriminal yang akurat, menyeluruh, terintegrasi dan berkelanjutan masih menjadi kendala di Indonesia.
Padahal, ketersediaan data kriminalitas yang akurat sangat penting untuk menghasilkan kebijakan
pidana yang tepat dan berdampak luas.
Kepala Divisi Portal Data Peradilan Cendy Adam mengatakan dengan memanfaatkan data kriminalitas, negara dapat merumuskan strategi pencegahan dan penindakan kejahatan yang efektif.
Kemudian bisa mengalokasikan sumber daya secara tepat guna.
"Serta dapat mengukur keberhasilan kinerja penegakan hukum," kata Cendy Adam dalam keterangan tertulis, Kamis (22/12/2016).
Cendy mengungkapkan data kriminalitas yang ada saat ini hanya terbatas pada data yang dilaporkan kepolisian, kejaksaan, pengadilan, rumah
tahanan (RUTAN) dan lembaga pemasyarakatan (LAPAS).
Data ini memiliki kelemahan, karena tidak mencerminkan kondisi riil kriminalitas di Indonesia.
Sementara, data kriminalitas yang dilaporkan institusi yang ada juga bermasalah.
Dikatakan dia, pengelolaan data kriminal selama ini dilakukan masing-masing institusi dengan cara dan nomenklatur yang berbeda satu dengan yang lain.
"Selain itu, data dari institusi penegak hukum juga seringkali tidak akurat," kata Cendy.
Ia mencontohkan pencatatan jumlah kasus dan tersangka narkotika pada tahun 2015.
Data yang dilaporkan dalam Refleksi Akhir Tahun Kinerja Polri 2015 berbeda dengan data Statistik Kriminal 2015 (BPS).
Padahal, data BPS bersumbernya dari data Polri.
"Carut-marutnya pencatatan kriminalitas di Indonesia berimplikasi pada buruknya perencanaan penegakan hukum," kata Cendy.
Pada April 2016, kata Cendy, Jaksa Agung mengeluhkan kekurangan anggaran yang diberikan pada Kejaksaan.
Kurangnya anggaran Kejaksaan tak lain disebabkan buruknya basis data yang digunakan sebagai acuan penganggaran.
Cendy menuturkan kejaksaan sampai saat ini tidak mampu menentukan berapa anggaran ideal yang diperlukan untuk menyelesaikan satu kasus pidana.
Sebab, tidak memiliki data dapat menunjukkan berapa rata-rata lama penanganan perkara, jumlah saksi yang dibutuhkan.
Serta kebutuhan khusus kejaksaan di daerah terkait perkara-perkara khusus seperti illegal logging dan illegal fishing yang berimplikasi langsung pada besarnya anggaran yang diperlukan.
"Praktik penegakan hukum juga terus berlangsung tanpa landasan yang memadai" ujar Cendy.
Cendy mengatakan dalam perkara narkotika penegak hukum cenderung lebih sering menggunakan pasal kepemilikan (Pasal 111 dan 112 UU Narkotika) dan pembelian narkotika (Pasal 114 UU Narkotika) dibandingkan dengan pasal penyalahgunaan narkotika (Pasal 127 UU Narkotika).
Hal itu, karena pasal kepemilikan dan pembelian narkotika lebih mudah dibuktikan, memuat ancaman pidana yang lebih berat, serta lebih praktis untuk dieksekusi.
Kata dia, kebijakan tersebut tidak terbukti membawa hasil yang signifikan.
Mengacu pada penelitian Badan Narkotika Nasional, prevalensi penyalahgunaan narkotika pada tahun 2015 meningkat 0,02 dibanding tahun sebelumnya.
"Selain itu, praktik penanganan perkara narkotika justru menyebabkan penjara penuh," tutur Cebdy.
Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan, dari tahun 2012-2015, tahanan dan terpidana narkotika menempati lebih dari setengah kapasitas rutan dan lapas.
Dari presentase tersebut, lanjut Cendy, pengguna menempati hampir seperempat dari kapasitas penjara di Indonesia.
"Padahal beberapa studi dari berbagai negara telah menunjukkan bahwa pemenjaraan untuk pengguna narkotika tidak dapat memberikan efek jera, berbiaya mahal, dan justru menimbulkan korban sampingan (keluarga terpidana)," kata Cendy.