Korupsi di Klaten dan Banten Dianggap Contoh Sempurna Dinasti Politik
Dinasti tak hanya dibangun di jajaran pemerintah daerah, tapi juga antarprovinsi dan lembaga legislatif.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch meyakini dinasti politik berpeluang besar menciptakan birokrat yang koruptif.
Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menyebutkan, apa yang terjadi di Klaten merupakan salah satu contohnya.
Menurut dia, dinasti politik di Klaten terbangun dari rantai kekuasaannya cukup unik.
Bupati Klaten Sri Hartini yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan istri dari mantan Bupati Klaten periode 2000-2005, Haryanto Wibowo.
Haryanto digantikan oleh Sunarna dengan Sri Hartini sebagai wakilnya.
Uniknya, Sunarna merupakan suami dari Sri Mulyani, wakil dari Sri Hartini saat ini.
Dengan demikian, tak hanya satu dinasti yang berkuasa di sana.
"Ketika suaminya tidak bisa lagi jadi kepala daerah, dilanjutin istrinya," ujar Almas, dalam diskusi di sekretariat ICW, Jakarta, Jumat (13/1/2017).
Contoh lainnya, kata dia, dinasti politik yang dibangun oleh Ratu Atut Chosiyah di Banten.
Dinasti tak hanya dibangun di jajaran pemerintah daerah, tapi juga antarprovinsi dan lembaga legislatif.
Adik Atut, Ratu Tatu Chasanah dipilih menjadi Bupati Serang.
Menantu Atut, Adde Rossi Khoerunnisa, terpilih menjadi Wakil DPRD Banten.
Kini, anak Atut bernama Andika Hazrumy maju menjadi calon Wakil Gubernur Banten.
"Jadi, cengkraman dinasti sudah sangat kuat. Ketika eksekutif dan legislatif sudah masuk dalam dinasti, maka check and balance tidak bisa diharapkan lagi," kata Almas.
Faktor kekerabatan dan kedekatan menjadi kunci utama suburnya dinasti politik.
Masyarakat awam percaya terhadap satu figur lantaran mengenal kerabat dari orang tersebut.
Partai politik juga punya andil besar dalam menyuburkan dinasti tersebut.
"Di Banten, Andika diusung Golkar yang dulu mengusung Atut. Yang pegang Golkar di Banten masih kerabat Atut juga," kata Almas.
Dinasti politik ini dinilai akan mematikan langkah kader lain yang bisa jadi lebih kredibel untuk memimpin suatu daerah.
Jika kepala daerah diisi oleh anak keturunan, maka distribusi kekuasaan yang diharapkan tidak akan terjadi.
Apalagi, kepala daerah biasanya dijadikan ketua dewan pimpinan daerah atau cabang partai.
Dengan demikian, wewenangnya lebih luas untuk memperkuat akar dinasti.
"Dinasti tidak hanya merusak Pilkada, tapi juga merusak tata kelola pemda. Dikuncinya jabatan sentral yang memutuskan kehidupan ekonomi ke depan," kata Almas.
Penulis: Ambaranie Nadia Kemala Movanita