Bersandar Pada Nilai Leluhur, Desa Cirompang Banten Ciptakan Kemandirian Pangan
Adat Kasepuhan Cirompang tentang tata cara menanam padi, membuat masyarakatnya tidak perlu bergantung pada impor.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Aturan adat tentang tata cara menanam padi, membuat masyarakat di Kasepuhan Cirompang surplus beras.
Mereka tidak perlu bergantung pada impor, sebab cadangan padi di lumbung (Leuit) Kasepuhan, mampu menghidupi seribuan warganya.
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Ada perempuan Kasepuhan Cirombang, Kecamatan Sobang, Lebak, Banten, yang sedang memainkan lesung. Alat penumbuk padi itu selalu dimainkan jika memasuki panen raya seperti saat ini.
Mereka tinggal di tanah adat di sekitar Taman Nasional Halimun-Salak, yang tak pernah kekurangan pangan, bahkan di kala kemarau panjang atau musim yang tak menentu.
Itu semua berkat petuah Olot atau Tetua Adat, Abah Amir. Dialah yang menentukan musim tanam setiap tahunnya.
Perhitungan menanam pun tak sembarang, tapi berpatokan pada rasi bintang. Hal itu diyakini bisa mengantisipasi serangan hama seperti burung, ulat, tikus, dan burung, serta kekeringan.
"Punya waktu sendiri, 3 bulan di atas 3 bulan di bawah. Jadi ngitung padi itu menghitung bintang, patokannya bintang. Pas nanam padi merekah pas hama turun, diusahakan penanamannya ketika bintang (kidang) terlihat 6 bulan di lumbung 6 bulan di sawah itu pare gede," ungkap Abah Amir.
Abah Amir juga bercerita, masyarakat adat Kasepuhan Cirompang dilarang membunuh hama pemakan tanaman padi. Bahkan, mereka pun tak boleh menggunakan pestisida atau obat-obat lain.
"Mensiasati jatuhnya hama itu dengan merubah jadwal tanggal tanam padi karena kidang itu kan berjalan. Ketika waktu hama keluar itu binatang apa saja bisa makan padi. Di kasepuhan tidak ada hama yang dibunuh karena itu hak mereka. Karena kalau membunuh satu saja hama maka itu akan celaka,"ujar Abah Amir.
Masyarakat adat Kasepuhan Cirompang sudah berabad-abad tinggal di sana.
Di lahan seluas 637 hektar itu, terbentang hamparan sawah seluas 185 hektar, kebun sayuran seluas 392 hektar yang terdiri dari palawija, sayur, tanaman kayu dan buah), hutan adat seluas 52 hektar), dan pemukiman warganya seluas 7 hektar.
Selama itu pula, mereka diajari dua masa musim tanaman padi, yang enam bulan pertama, masyarakat adat kasepuhan wajib menanam pare gede atau padi.
Enam bulan berikutnya, masyarakat adat kasepuhan dipersilakan untuk berkebun atau warga setempat menyebutnya ngebon.
Ada dua macam jenis sawah, yaitu sawah tangtu diperuntukkan untuk tetua adat dan sawah yang ditujukan pada warganya. Sementara hutan adat, tak boleh diusik.
Padi yang ditanam di Kasepuhan Cirompang ada 24 varietas. Uniknya, bibit-bibit itu dihasilkan dari bulir padi yang sebelumnya telah melewati proses yang tak biasa.
Mulanya, bulir direndam satu hingga dua malam, kemudian dibungkus daun pisang selama sepekan.Barulah bulir padi yang sudah berakar itu disemai ke lahan mereka. Itu pun tak boleh menggunakan pupuk, traktor/pacul.
Mereka, harus menanam dengan tangan. Tetua Adar Abah Amir menjelaskan.
"Nyibakeun (nanam padi) ngubaran (ngobati) Mamapag pari beukah, mipit (ritual mau panen), ngerengkong (ngambil padi dari jemuran ke leuit) ngadiukeun (menyimpan padi ke lumbung) seren taun (syukuran habis panen setahun),"kata Abah Amir.
Masyarakat adat Kasepuhan Cirompang juga bergantung pada hujan dan sungai untuk mengairi sawahnya.
Lantaran berada di daerah ketinggian, Kasepuhan menetapkan sejumlah larangan menjamah hutan yang ada di atas gunung. Itu, demi menjaga air tetap mengalir.
"Pengairannya ada yang alami ada yang irigasi. Ada hutan larangan hutan sawisan (mungkin bisa dicampur tanaman bambu, tanaman picung yang mengandung kadar air),” ujar Abah Amir.
Mereka juga memberlakukan pantangan lain. Semisal tak boleh menggarap sawah pada hari Jumat dan Minggu.
"Kalau hari minggu dan jumat itu untuk sawah tidak boleh digarap hanya untuk di kebon. Kalau jumat menurut agama islam kalau kerja di darat maupun di sawah untuk ibadah. Kalau minggu satu kali, petani juga libur,"papar Abah Amir.
Saat panen raya tiba, gabah-gabah itu akan dibagikan ke lumbung atau leuit pribadi dan adat yang jumlahnya mencapai seratusan sehingga jika ada warga yang kehabisan, bisa minta dari lumbung adat.
Dan dari sekali panen tersebut sanggup menghidupi 1.690 jiwa warganya. Malah, mampu bertahan hingga setahun ke depan.Di Kasepuhan Cirompang pula, ada larangan menjual beras ke luar daerah. Kembali Abah Amir.
"Padi gede puluhan tahun kuat disimpan di lumbung. Jauh berbeda antara pari gede dan pari leutik, pari leutik setahun juga sudah beda rasanya. Pari gede nggak boleh diperjual belikan, kecuali pari leutik. Bibit pari gede asalnya bukan dari pemerintah ataupun dari siapapun, langsung dari alam. Kalau buat bibit itu disimpen di rumah. Nenggah (bagi hasil). Sawah tetap milik pribadi tapi sistem penanamannya harus mengikuti adat, “ujar Abah Amir.
Tak hanya menanam padi, masyarakat adat Kasepuhan mulai menanam sayuran untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Seperti cabai, tomat, sawi, timun, bawang daun dan jenis lainnya.
Selain itu, mereka juga melakukan ngaborek atau ternak ikan di dasar sungai. Caranya menggali dasar sungai hingga kedalaman enam meter dan melapisinya dengan bambu.
“Kita mulai Ngaberok atau ternak ikan, untuk mencukupi kebutuhan. Satu berok, terbuat dari bambu yang ditanam ke dasar sungai bisa berjumlah hampir seratus. Bibitnya kita semai dulu di sawah, nanti kalau sudah besar baru dipindahkan ke sungai,"ujar Abah Amir.
Kemandirian pangan ala Kasepuhan Cirompang, sepatutnya ditiru. Toh bersandar pada nilai-nilai leluhur nyatanya mampu menjauhkan mereka dari ketergantungan impor.
Penulis : Yudi Rachman/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)