'Ramai-ramai Kawal Pak Habib'
'Rizieq Shihab diperiksa terkait dua aduan atasnya dan agenda pemeriksaan ini kembali diramaikan oleh massa FPI.'
Editor: Rendy Sadikin
RIZIEQ Shihab yang bergelar Habib lantaran memiliki hubungan pertalian darah dengan Yang Mulia Rasulullah Muhammad SAW, kembali diperiksa polisi, dan para pendukungnya ramai-ramai menggelar aksi di depan kantor polisi. Dan ini meresahkan.
Satu kesepakatan menyatukan mereka untuk membentuk kerumunan: Pak Habib telah dikriminalisasi oleh polisi. Dalam hal ini khususnya oleh Kepala Polri, Jenderal Tito Karnavian, yang makin ke sini makin kencang disuarakan sebagai "musuh Islam" lantaran kebijakan- kebijakannya yang (disangkakan, dianggap, dan terlanjur diyakini) tidak "memihak Islam".
Dan lantaran sebab itu, maka mereka merasa harus melakukan pengawalan. Polisi (dan pemerintah yang dituding melakukan hal yang sama) mesti diawasi agar penyidikan yang dilakukan tidak sampai menyeret Pak Habib ke muka hakim yang potensial menjebloskan beliau ke balik jeruji besi.
Saya tidak hendak mempersoalkan apakah atas kasus-kasus yang menjeratnya Pak Habib benar-benar dikriminalisasi oleh polisi (oleh Tito) dan pemerintah atau tidak. Cara pandang yang melahirkan kesimpulan ini sudah bengkok dari "sononya" sehingga memang sangat sulit (untuk tidak menyebutnya mustahil) diluruskan lagi. Saya percaya penggugatan terhadap kesimpulan perihal kriminalisasi hanya akan mencuatkan debat-debat yang panjang dan panas dan serba riuh. Debat-debat yang tiada berujung dan karenanya tidak memperoleh apa-apa selain tekanan darah yang naik ke titik di atas normal. Sia-sia belaka.
Tentu saja saya juga tak akan mempersoalkan kesimpulan yang lebih aduhai. Bahwa mengkriminalisasi Pak Habib berarti mengkriminalisasi umat Islam di seluruh penjuru tanah air. Bahwa tersakitinya Pak Habib adalah berarti tersakitinya umat Islam Indonesia. Bahwa Pak Habib adalah ulama terkasih dan Imam Besar Umat Islam dan wajib hukumnya dibela dengan segenap jiwa raga sampai tetes darah penghabisan. Bahwa yang tidak ikut merasa terkriminalisasi dan tersakiti dan tidak ikut membela merupakan bagian dari kaum sekuler, liberal, komunis, dan kafir.
Saya kira, tiap-tiap kesimpulan, tiap-tiap pandangan, sengawur apapun, tidak boleh tidak dihargai. Kendati mendebat dan melontar kritik pada dasarnya adalah perwujudan dari sikap menghargai juga, apabila hal ini justru potensial merusak perkawanan dan persaudaraan, maka sebaiknya memang dihindarkan. Biarlah pendapat-pendapat dan kesimpulan tersebut berjalan sendiri-sendiri saja.
Lantas apa yang meresahkan? Ketimbang menyoal kesekuleran, keliberalan, kekomunisan, dan kekafiran, saya lebih melihat kedatangan ribuan orang ke kantor polisi untuk mengawal Pak Habib adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap hukum yang sekaligus merupakan pengejawantahan yang sangat sahih dari sikap tidak percaya kepada pemerintah.
Logikanya, dalam hal ini tentu saja logika mereka, hukum merupakan produk pemerintah. Bukan produk pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), sebenarnya. Sebab sebagian besar isi Kitab Undang Undang Hukum kita, pidana maupun perdata, diproduksi di masa kolonial. Produk Belanda dan masih banyak yang belum mengalami pembaruan.
Akan tetapi tidak sedikit yang menganggap hukum sebagai produk pemerintah di bawah pimpinan Jokowi. Dan lantaran tak percaya Jokowi maka hukumnya juga tidak boleh dipercaya. Sebab dengan kuasa di tangannya, Jokowi dapat menekuk-nekuk hukum sesuka hati dan ini bukanlah kabar yang baik bagi Pak Habib.
Sesungguhnya skeptisisme terhadap hukum dalam kaitpautnya dengan Pak Habib dan kasus-kasus yang menjeratnya bukan baru satu kali terjadi. Jika dihitung sejak tahun 2002 saja, tak kurang sepuluh kali kecenderungan model begini berulang. Ramai-ramai membentuk kerumunan di kantor polisi bahkan gedung pengadilan.
Apakah langkah ini efektif? Boleh dikata tidak. Pengerahan massa sebanyak apapun tidak akan dapat mengubah kebenaran. Tidak akan dapat mengintervensi hukum. Buktinya, kerumunan-kerumunan sebelumnya, yang tidak kalah ramai dan riuhnya, tetap tidak bisa menyelamatkan Pak Habib dari vonis hakim.
Tahun 2003, Pak Habib dibui tujuh bulan setelah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penghasutan, melawan aparat keamanan, dan memerintahkan perusakan sejumlah tempat hiburan di Jakarta.
Lima tahun berselang, Pak Habib masuk bui lagi. Kali ini hakim memutusnya bersalah terlibat dalam aksi kerusuhan di Monas dan dijatuhi hukuman 18 bulan.
Sampai di sini muncul satu pertanyaan. Pengerahan kekuatan massa dan kerumunan yang berteriak-teriak di depan kantor polisi dan gedung pengadilan, sudah terbukti dua kali gagal menyelamatkan Pak Habib. Lalu kenapa sekarang diulangi?
Apakah lantaran betul-betul yakin Pak Habib tidak bersalah dan tudingan terhadapnya hanya lelucon yang tidak berdasar dan mengada-ada? Apakah lantaran hukum (berikut aparatnya) sekarang memang sudah betul-betul buruk dan sontoloyo dan brengsek sebrengsek-brengseknya sehingga betul-betul tidak dapat dan tidak boleh lagi dipercaya?
Atau sekadar karena merasa lebih di atas angin?
TRIBUN MEDAN/T Agus Khaidir