Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Menunggu Keberanian KPK Usut Dugaan Korupsi Calon Kepala Daerah

Komisi Pemberantasan Korupsi diminta tak canggung mengusut laporan masyarakat yang melaporkan kasus korupsi yang berlangsung semasa Pilkada.

Penulis: Y Gustaman
zoom-in Menunggu Keberanian KPK Usut Dugaan Korupsi Calon Kepala Daerah
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Aliansi Masyarakat Anti Korupsi Kota Tangerang (Almakota) berdemonstrasi di depan gedung KPK, Jakarta, terkait korupsi pengelolaan Pasar Babakan Kota Tangerang, Kamis (26/1/2017). Demonstran meminta KPK mengusut korupsi yang diduga melibatkan Wahidin Halim, mantan wali kota Tangerang. TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi diminta tak canggung mengusut laporan masyarakat yang melaporkan kasus korupsi yang berlangsung semasa Pilkada.

Demikian disampaikan Direktur Center For Budget Analysis, Uchok Sky Khadafi, menanggapi dugaan korupsi yang berkaitan dengan dinasti politik dan para calon kepala daerah yang terindikasi korup.

"KPK selalu grogi menangani kasus korupsi di momen Pilkada, karena merasa jika laporan itu ditindaklanjuti disangka bermain politik. Padahal, tak boleh seperti itu," tegas Uchok dalam keterangannya, Senin (30/1/2017).

Kritik Uchok menanggapi pekan lalu puluhan warga Banten yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Korupsi Kota Tangerang (Almakota) mendatangi KPK guna menyerahkan laporan dugaan korupsi mantan Wali Kota Tangerang yang juga calon gubernur Banten, Wahidin Halim.

Koordinator Almakota Lufti Hakim menjelaskan dugaan korupsi Wahidin berupa pengelolaan Pasar Babakan di atas tanah milik Departemen Kehakiman, namun, tidak ada kerja sama antara PT PKG dengan Kementerian Hukum dan HAM atau dengan Kementerian Keuangan selaku pengelola barang negara.

Dikatakan Lutfi, para pedagang Pasar Cikokol yang direlokasi ke Pasar Babakan dipaksa membeli kios PT PKG seharga Rp 10 juta, dan biaya sewa Rp 50 ribu per hari. Dia menyebut tindakam ini ilegal dan sengaja dibiarkan hingga ada dugaan suap atau gratifikasi yang mengalir ke kantong Wahidin dan kroninya.

Menurut Uchok agar pengusutan kasus tersebut bisa bergulir lebih cepat, akan lebih baik Polri ikut mengusut. Tentu saja harus ada laporan terlebih dahulu dari masyarakat Banten tentang ini.

BERITA REKOMENDASI

"Agar kasus ini tak diam dan berjalan simultan. Sambil diproses KPK, laporkan juga ke Bareskrim. Asal ada laporan dari masyarakat dan bukti jelas pasti ditindaklanjuti. Jalan itu harus ditempuh masyarakat agar kasusnya tidak diam," terang Uchok.

Alhasil, dengan laporan berlapis, penegak hukum bisa melihat bahwa ada persoalan hukum yang harus dituntaskan.

Jika terbukti tanah pasar itu milik pemerintah dan kemudian dikelola swasta namun tak ada pemasukan ke negara dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), jelas harus diusut tuntas karena ada dugaan penyelewengan dana.

Sebagai pihak terkait dalam dugaan kasus ini maka Kementerian Hukum dan HAM juga harus bertindak.

"Jika tidak ada kerja sama dan malah uangnya mengalir kemana-mana, itu bisa kena pasal pasal banyak, berlapis," Uchok menambahkan.

Dikatakan Uchok, jangan membiarkan pejabat bisa seenaknya mengeruk dana publik melalui jaringan keluarga.

Dinasti politik terbukti membunuh demokrasi, karena membatasi hak politik orang sehingga harus diberantas hingga akarnya dengan cara tidak dipilih dalam proses Pilkada.

"Politik dinasti harus dibersihkan dihabisi dan dijadikan musuh bersama," tegas Uchok.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai, dinasti politik tidak boleh dilakukan, karena dipastikan membuka praktik kolusi, korupsi, nepotisme (KKN), di antara kerabat dan keturunannya.

"Tidak bisa seperti itu. Kalau mau begitu, bikin saja negara kerajaan, harus ada jeda, ada batasan. Masak setelah ibu kemudian anaknya, itu melanggar demokrasi, dong," sindir Agus.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas