Transkrip SBY Komentari Namanya Disebut di Sidang Ahok
Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhyono angkat bicara menyoal namanya disebut dalam sidang Ahok. Begitu transkrip rekaman SBY.
Penulis: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhyono angkat bicara, menyoal namanya kemarin disebut dalam persidangan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dari Wisma Proklmasi, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2017).
Berikut transkrip konferensi pers SBY yang didampingi Sekjen DPP Partai Demokrat Hinca Panjaitan merujuk rekaman Kompas TV di YouTube dengan judul: SBY Komentar Soal Perkembangan Politik Terakhir - BREAKING NEWS:
...Kasus hukum Pak Ahok, yang baik pengacara maupun Pak Ahok mengaitkan nama saya dalam persidangan tersebut. Oleh karena itulah saya ingin menyampaikan semua itu secara gamblang.
Bisa lebih diam sedikit yang belakang ya.
Namun sebelum saya masuk ke situ ada dua hal. Pertama, teman-teman mengingatkan sebetulnya, 'Pak SBY enggak usah bicaralah, lebih baik diam saja. Daripada nanti digempur lagi.' Jawaban saya, "Lah saya diam saja juga digempur. Oleh karena itu akan bagus rakyat mendengarkan penjelasan saya karena kemarin nama saya dikait-kaitkan dalam persidangan kasus Pak Ahok.'
Yang kedua ini dari staf, katanya wartawan pasti ini SBY marah. Ya enggaklah. Dulu bulan November saya dianggap keras atau marah karena memang ya tidak ada angin dan tidak ada hujan tiba-tiba Partai Demokrat dituduh menggerakkan aksi damai 411, saya juga dituduh mendanai dan bahkan menunggangi aksi damai itu. Bahkan belakangan katanya menyuruh membom Istana Merdeka di mana saya 10 tahun tinggal di sana dulu. Katanya juga SBY dalang dari rencana makar yang kemarin akan dilaksanakan.
Tentu, teman-teman, saudara-saudara, kalau dituduh dan difitnah seperti itu saya sebagai manusia biasa harus menyampaikan perasaan saya bahwa semua itu tidak benar.
Sayang sekali saya belum punya... Kalau saya bisa bertemu beliau, katakan pada beliau, yang memberikan informasi atau intelejen kepada beliau, ya tadi itu menuduh saya mendanai aksi damai 411, menunggangi aksi damai itu, urusan pemboman dan juga urusan makar.
Saya ingin sebetulnya melakukan klarifikasi secara baik dengan niat dan tujuan yang baik. Supaya tidak menyimpan, baik Pak Jokowi maupun saya, prasangka, praduga, perasaan enak dan tidak enak, atau saling bercuriga. Beliau Presiden Republik Indonesia, saya juga pernah memimpin negeri ini sebelum beliau. Oleh karena itulah bagus kalau saya bisa bertemu, sekali lagi blak-blakanlah apa yang terjadi, apa yang beliau dengar. Supaya ada dialog, mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Saya diberitahu konon katanya ada tiga sumber yang memberitahu saya, beliau ingin bertemu dengan saya tidak ada masalah. Cuma dilarang dua oleh tiga orang di sekeliling beliau. Nah, dalam hati saya, 'Hebat juga ini yang bisa melarang Presiden kita untuk bertemu dengan sahabatnya yang juga mantan Presiden.'
Ini sekaligus saya ungkapkan pada hari yang baik ini bahwa bagus kalau kami berdua bisa saling melakukan klarifikasi supaya tidak menyimpan sekali lagi prasangka, praduga dan bahkan rasa kecurigaan. Itu pengantar.
Nah, sekarang intinya teman-teman para wartawan.
Saya kira semua mengikuti kemarin dalam sebuah persidangan dikatakan ada rekaman atau transkrip atau bukti percakapan saya dengan Kiai Haji Ma'ruf Amin, Ma'ruf Amin begitu bunyinya. Spekulasinya langsung macam-macam. Nah, saya ingin menyoroti masalah itu, karena kalau betul percakapan saya dengan Pak Ma'ruf Amin atau percakapan siapa pun dengan siapa disadap, tanpa alasan yang sah, tanpa perintah pengadilan dan hal-hal yang dibenarkan dalam undang-undang, namanya itu penyadapan ilegal. Kalau yang disadap itu percakapan telepon bunyinya menjadi illegal telephone tapping. Nah, kalau penyadapan itu punya motif politik maka istilahnya menjadi political spying. Satu, dari aspek hukum masuk dari aspek politik juga masuk.
Saya kira teman-teman masih ingat skandal Watergate. Dulu kubu Presiden Nixon menyadap kubu lawan politik yang juga sedang dalam kampanye pemilihan presiden. Memang Presiden Nixon terpilih menjadi Presiden. Tetapi skandal itulah yang menyebabkan akhirnya Presiden Nixon harus mundur, resign. Karena kalau tidak beliau akan diimpeach.
Saya hanya menggambarkan bahwa politicall spying, illegal tapping, itu kejahatan yang serius di negara mana pun juga. Oleh karena itulah saya pada kesempatan yang baik ini ingin mencari dan mendapatkan keadilan sebenarnya.
Apa yang sesungguhnya terjadi karena kalau betul-betul telepon saya selama ini disadap secara tidak legal saya mendengar pada awal September setelah kembali dari Jawa Tengah, Jawa Barat, diberitahu, "Pak SBY hati-hati ada informasi telepon bapak dan anggota BIN yang lain disadap." Belum lama kurang lebih satu bulan yang lalu saya juga dapat informasi, "sahabat di lingkar kekuasaan hati-hati telepon kalian disadap." Sehingga kalau bicara sekarang melalui utusan, melalui carakan. Tetapi saya masih belum yakin apa iya, salah saya apa disadap? Mantan Presiden itu mendapatkan pengamanan oleh Paspampres, siapa pun mantan presiden itu, siapa pun mantan wakil presiden itu. Yang diamankan apanya? Orangnya, objeknya, kegiatannya, dan kemudian kerahasiaan pembicaraannya. Jadi menurut saya antara yakin atau tidak yakin apa iya saya disadap. Nah, kalau betul-betul disadap segala pembicaraan, kemudian kegiatan, mungkin strategi, mungkin rencana apa pun akan diketahui oleh mereka yang tidak punya hak sama sekali. Dan kalau itu menganggap dirinya lawan politik ya sama dengan skandal Watergate tadi, mendapatkan keuntungan dan manfaat politik dengan cara menyadap, mengetahui, mendapatkan informasi tentang seluk-beluk pembicaraan termasuk rencana dan strategi lawan politiknya.
Dalam Pilpres maupun Pilkada ya penyadapan seperti ini sangat bisa membikin seorang kandidat kalah. Ya memang akan ketahuan semua. Mau dirahasiakan seperti apa pun ketahuan. Penyadapan itu ilegal. Karena for me it's very serious.
Kita punya perangkat undang-undang. Adalah Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ITE. Itu pertama kali terbit di era saya dulu pada tahun 2008. Kemudian diperbaharui di era Pak Jokowi pada tahun 2016.
Di situ ada pasal-pasal yang melarang seseorang atau pihak mana pun melakukan penyadapan ilegal tadi.
Salah satunya saya bacakan ini pasal 31: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan atau sistem elektronik tertentu milik orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun, berat hukumanya dan atau denda paling banyak Rp 800.000.000.
Konstitusi kita, undang-undang kita, aturan kita sama dengan negara-negara lain melarang tindakan penyadapan ilegal itu.
Oleh karena itulah dengan semuanya itu teman-teman kalau memang pembicaraan saya kapan pun. Kalau yang saya disebut kemarin pembicaraan saya dengan Pak Ma'ruf Amin itu disadap, ada rekamannya, ada transkripnya, maka saya berharap pihak kepolisian, pihak kejaksaan, dan pihak keadilan untuk menegakkan hukum sesuai Undang-Undang ITE tadi.
Saya hanya mohon itu. Sebagai rakyat bisa mendapatkan keadilan dan tegaknya hukum. Dan mulai hari ini saya akan mengikuti apa respon dari penegak hukum. Karena ini bukan delik aduan. Tidak perlu Polri menunggu aduan saya. Sekali lagi bukan delik aduan. Equality before the law, kesamaan dalam hukum adalah hak, konstitusional setiap orang. Semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 juga seperti itu.
Dan melalui mimbar ini saya juga mohon agar transkrip percakapan telepon saya yang sekarang katanya dimiliki pihak Pak Ahok beliau sendiri atau tim pengacaranya saya juga bisa mendapatkan. Karena saya khawatir kalau tidak saya dapatkan sangat bisa transkrip itu ditambah atau dikurangi percakapannya. Sangat mungkin kalau sudah menjadi transkrip itu bisa ada tambah kurang yang tentu akan berubah dari isinya seperti apa. Saya sungguh ingin mendapatkan transkrip itu karena dikatakan, "Kami punya buktinya, kami punya rekamannya, dan kami punya transkripnya." Kurang lebih seperti itu.
Nah, kalau, saudara-saudara, yang menyadap secara ilegal ini bukan pihak Pak Ahok, atau tim pengacaranya Pak Ahok dan pihak lain, saya juga bermohon kepada negara untuk diusut siapa yang menyadap itu. Yang saya tahu di samping KPK menyadap yang urusannya tindak pidana korupsi, ada lembaga yang lain yaitu Polri, BIN atau Badan Intelejen Negara dan juga BAIS TNI, saya tidak tahu apakah masih ada atau tidak. Tetapi paling tidak itulah institusi-institusi negara yang memiliki kemampuan untuk menyadap.
Pemahaman saya sama seperti waktu saya memimpin dulu, penyadapan itu tidak boleh sembarangan, tidak boleh ilegal, dan harus berdasarkan aturan yang telah diatur oleh undang-undang. Tapi, kalau misalnya, mudah-mudahan tidak, mudah-mudahan tidak, yang menyadap itu bukan Pak Ahok, tapi lembaga yang lain tadi menurut saya sama: hukum mesti ditegakkan.
Nah, kalau institusi negara misalnya Polri atau pun BIN menurut saya negara ikut bertanggungjawab. Saya juga berhomon Pak Jokowi, Presiden Kita, berkenan memberikan penjelasan dari mana transkrip atau sadapan itu? Siapa yang menyadap? Supaya jelas. Yang kita cari kebenaran. Ini negara negara kita sendiri bukan negara orang lain. Bagus kalau kita bisa menyelesaikan segala sesuatunya dengan baik, adil dan bertangungjawab. Itu dari aspek hukum saudara-saudara dan juga sedikit dari aspek politik.
Nah, kalau dari aspek sosial begini. Kalau saya saja sebagai mantan presiden yang mendapatkan pengamanan dari paspampres begitu mudahnya disadap, bagaimana dengan saudara-saudara kita yang lain, rakyat yang lain, politisi yang lain. Sangat mungkin mereka mengalami nasib yang sama dengan yang saya alami. Nah, kalau itu terjadi negara kita seperti rimba raya, hukumnya hukum rimba. Artinya yang kuat menang yang lemah kalah. Padahal yang betul itu yang benar menang yang salah kalah.
Jadi kita mohonkan betul penjelasan dari Bapak Presiden tentang hal ini. Ya mudah-mudahan tidak terjadi sehingga rakyat menjadi tenang. Tetapi karena diucapkan di depan persidangan berarti itu memiliki kekuatan tersendiri dan keabsahan tersendiri. Itu yang kita sampaikan.
Tentu saudara ingin mendapatkan apa memang tidak ada percakapan antara saya dengan Pak Ma'ruf Amin atau pun dengan pejabat-pejabat lain. Saya ingin bicara truth, fakta, kebenaran. Tanggal 7 Oktober 2016 memang ada pertemuan antara Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni dengan kedua organisasi. Pada hari itu dijadwalkan Agus-Sylvi bertemu dengan PBNU dan PP Muhammadiyah. Yang saya tahu tema dari pertemuan itu Agus-Sylvi mohon doa restu, mohon nasihat, agar perjuangannya dalam Pilkada Jakarta itu berhasil. Itu yang saya ketahui.
Kemudian, sebelum Agus Harimurti Yudhoyono berangkat, saya pesan, "Sampaikan salam saya kepada beliau-beliau dan kapan-kapan senang kalau saya bisa bertukar pikiran tentang masalah Islam dan dunia."
Untuk teman-teman ketahui saat ini saya adalah satu dari tiga yang disebut wise persons. Yang tergabung dalam Wise Persons Council: saya, mantan Presiden Turki Abdullah Gül, dan mantan Presiden Nigeria Abdussalam, secara resmi sejak tahun yang lalu itu menjadi Wise Persons Council dari Organisasi Kerjasama Islam OKI yang pusatnya di Jeddah, Saudi Arabia. Peran dan tugas saya, peran dan tugas kami bertiga adalah untuk memberikan pandangan dan nasihat kepada OKI tentang bagaimana kita mengelola permasalahan Islam sedunia: Timur Tengah, Rohingya, dan banyak lagi tempat yang menurut OKI kita harus peduli dan juga mencari solusi. Dalam konteks itulah waktu itu saya sampaikan kapan-kapan kalau bertemu saya bisa mendiskusikan itu.
Kemudian saya diberitahu di acara PBNU itu cukup lengkap, bukan hanya Pak Said Agil Siradj, Kiai Said Aqil Siradj, tetapi juga Pak Ma'ruf Amin sebagai Rais Aam, bukan dalam kapasitasnya sebagai Ketua MUI. Dan mereka para pengurus itu yang katanya lengkap mengira saya ikut dalam rombongan itu. Saya katakan tidak mungkin, Agus-Sylvi sudah mandiri, nanti dikira di bawah bayang-bayang ayahnya, dan tidak baik. Toh mereka datang untuk memohon doa restu dan bimbingan. Pada saat itulah tidak ada kaitannya sebetulnya dengan kasus Pak Ahok, dengan tugas-tugas MUI, dengan tugas-tugas untuk mengeluarkan fatwa.
Ada staf yang, bukan, bukan, yang saya menelepon Pak Ma'ruf Amin langsung atau Pak Ma'ruf Amin menelepon saya langsung. Tapi ada staf di sana dengan handphone yang bersangkutan menyambungkan percakapan saya dengan Pak Ma'ruf Amin yang kaitannya seputar pertemuan itu. Dan saya ulangi lagi tadi bahwa kita insya Allah suatu saat bisa berdiskusi dengan yang lain-lain. Intinya di situ, jadi percakapan itu ada.
Kalau Pak Ma'ruf Amin saya dengar mengatakan tidak ada pertemuan langsung saya dengan Pak SBY dan percakapan langsung saya dengan Pak SBY yang berkaitan dengan tugas kami, MUI untuk mengeluar, menetapkan pendapat keagamaan apa pun namanya. Namun saya tidak ingin perpanjang lebar di situ.
Kalau dibangun opini gara-gara percakapan saya dengan Pak Ma'ruf Amin, gara-gara pertemuan Agus-Sylvi dengan PBNU dan PP Muhammadiyah, maka pendapat keagamaan yang dikeluarkan MUI seperti itu, tanyakan saja kepada MUI. MUI itu Majelis Ulama Indonesia. Memang ada ketuanya. Tapi selama ini yang saya ketahui, selama jadi presiden beberapa kali saya bertemu dengan MUI lengkap pengurusnya memang segala sesuatunya dimusyawarkan. Dan ketika mengeluarkan entah fatwa entah apa pun itu sudah dibicarakan di antara mereka.
Silakan ditanyakan apakan pendapat keagamaan MUI itu lahir di bawah tekanan SBY atau di bawah tekanan siapa pun. Saya kira mudah sekali apa, untuk mengecek. Daripada nanti saya defensif tanyakan saja langsung: apakah sekali lagi Majelis Ulama Indonesia dalam mengeluarkan pendapat keagamaannya didikte atau ditekan oleh yang namanya SBY atau pun siapa pun. Itu yang ingin saya sampaikan.
Dan teman-teman para wartawan, kesimpulan yang ingin saya sampaikan adalah dengan penjelasan saya ini, berangkat dari pernyataan pihak Pak Ahok yang memegang bukti, atau transkrip atau apa pun yang menyangkut percakapan saya dengan Pak Ma'ruf Amin saya nilai itu adalah sebuah kejahatan. Karena itu adalah penyadapan ilegal. Saya hanya mohon hukum ditegakkan. Bola sekarang bukan pada saya, bukan di Pak Ma'ruf Amin, bukan di Pak Ahok dan tim pengacaranya, tetapi kepada atau di tangan Polri dan para penegak hukum yang lain. Bola di tangan mereka.
Dan kalau ternyata yang menyadap institusi negara bola di tangan Bapak Presiden Jokowi. Saya hanya memohon keadilan tidak lebih dari itu dan hak saya diinjak-injak, dan privacy saya yang dijamin oleh undang-undang dibatalkan dengan cara disadap secara tidak legal.
Dan teman-teman semua baik yang ada di ruangan ini mau pun di mana pun, karena sejak tadi malam saya banyak sekali mendapatkan pesan, beragam sekali. Ada yang, apa namanya, sedang, ada yang keras ada yang marah dan sebagainya. Saya berharap karena sudah menyampaikan seperti ini baik-baik, dengan niat dan tujuan yang baik, maka teman-teman, para pendukung harap sabar dan tegar. Tolong bisa menahan diri, insya Allah ada titik air keadilan. Kalau kita haus dan dahaga, kalau ada titik keadilan rasanya haus kita dan dahaga kita hilang. Itulah yang ingin saya sampaikan.
Terima kasih teman-teman atas kesabaran dan perhatiannya.
Saya lebih baik begini daripada main di media sosial saling mengeluarkan hoax, atau bahasa Indonesianya hoaks. Kita begini saja langsunglah. Media tradisional juga ada, tivi ada, televisi ada, radio ada, apalagi? Majalah juga ada. Jangan sampai kita malah saling berkomunikasi dengan tidak tahu siapa yang berkomunikasi itu. Bung Karno mengatakan, "Mana dadamu ini dadaku." Artinya ayolah kita, artinya supaya tidak mudah kita saling memfitnah, tidak mudah kita saling menjatuhkan. Ini yang kita harapkan. Itu saja teman-teman dan sekali lagi terima kasih atas perhatiannya, saya sudah menjelaskan segalanya dengan niat dan tujuan yang baik. Sekian. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.