Muasal Kecurangan Jelang Pilkada, Politik Uang Paling Primitif
Cara paling primitif adalah memberi uang dan atau barang untuk mempengaruhi pilihan masyarakat menjelang, sedang dan setelah pilkada.
Penulis: Y Gustaman
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Y Gustaman
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Puncak pemungutan suara pada pilkada serentak gelombang kedua pada 15 Februari masih tersisa beberapa hari terdapat tahapan yang penting diantisipasi.
Di antaranya adalah rapat umum dan masa tenang yang justru seringkali menjadi waktu tim sukses masing-masing calon kepala daerah mempengaruhi pemilih yang sesungguhnya.
Rapat umum adalah pertemuan terbuka penyampaian visi misi dan program dengan jumlah peserta yang susah dibatasi. Dengan menggunakan tempat publik, maka aspek pertemuan antara pendukung atau dengan aksi lainnya sangat perlu diantisipasi.
Pada akhir masa kampanye, Sabtu (11/2/2017), tiap-tiap pasangan calon, pendukung serta kelompok masyarakat akan berusaha menunjukkan kekuatannya masing-masing, atmosfernya panas.
Adapun masa tenang adalah waktu di mana masyarakat pemilih mempelajari semua informasi terkait latar belakang pasangan calon, membandingkan dan menentukan pilihan.
"Catatan atas empat bulan mendengar dan menyaksikan gagasan membangun daerah dari pasangan calon dicermati dalam masa tenang untuk kemudian menentukan pilihan pribadinya," ungkap Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz dalam keterangannya untuk Tribunnews.com di Jakarta, Minggu (5/2/2017).
"Seringkali masa tenang justru menjadi masa dari praktik kampanye yang sesungguhnya," ia menambahkan.
Terjadi peningkatan suhu politik di masyarakat pemilih akibat persaingan intensif dari pasangan calon dan pendukungnya.
"Di sinilah justru akan muncul potensi tindakan pelanggaran Pilkada yang meninggi mendekati pelaksanaan hari pemungutan suara," ungkap dia.
Di antara potensi tindakan pelanggaran pertama; ucapan intimidatif dan saling serang dengan materi pemberitaan bohong (hoax).
Dengan menggunakan teknologi informasi dan media sosial, materi kampanye negatif tanpa sumber menyebar tanpa filter.
Kecepatan penyebaran informasi sama cepat dengan tingkat potensi kepercayaan pembacanya. Penyebaran kampanye negatif tersebut sama sekali tak dapat diantisipasi apalagi ditindak oleh Bawaslu beserta jajarannya.
"Instrumen pengawasan yang disediakan jelas tidak cukup mampu mengimbangi kecepatan penyebaran kampanye negatif tersebut, perlu banyak pihak yang harus diajak bekerjasama," ungkap Masykurudin.