Kota Bogor Sukses Jadi Daerah Percontohan Penerapan Kawasan Tanpa Rokok
Keberhasilan penerapan KTR di Kota Bogor perlu sinergitas dan komitmen yang kuat dari semua para pelaku kepentingan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kebiasaan merokok telah meluas di seluruh kelompok masyarakat Indonesia.
Di tahun 2025 nanti, WHO memprediksikan jumlah perokok dunia mencapai 650 juta, yang artinya akan ada 10 juta kematian per tahun.
Bahaya asap rokok tak hanya menimpa perokok aktif, tetapi juga perokok pasif seperti bayi dan anak-anak.
Di Indonesia, masalah rokok masih menjadi masalah nasional yang terus dihadapi, karena itu perlu adanya langkah-langkah pengamanan rokok bagi kesehatan dan membatasi ruang gerak para perokok, seperti penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Sejak tahun 2009 Kota Bogor telah mempunyai Peraturan Daerah No 12 Tahun 2009 tentang KTR (Kawasan Tanpa Rokok) serta Peraturan Walikota Bogor No. 7 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) tentang KTR.
Hal ini disebabkan, kebiasaan merokok di kota Bogor telah merambah hingga kalangan anak dan remaja akibat dari gencarnya promosi rokok di berbagai media massa.
Berdasarkan Perda No.12 Tahun 2009, ada 8 kawasan yang ditetapkan KTR, yaitu tempat umum, tempat kerja, tempat ibadah, tempat bermain anak dan/atau berkumpulnya anak-anak, kendaraan angkutan umum, lingkungan tempat proses belajar mengajar, sarana kesehatan, dan sarana olah raga.
Sayangnya, penerapan KTR di Kota Bogor masih belum optimal. Ini terlihat dari hasil kegiatan Tipiring, monitoring, dan sidak KTR pada Mei 2010 s.d. Desember 2016 yang menunjukkan banyaknya pelanggaran dilakukan.
Namun, keberadaan Perda KTR juga telah membawa banyak perubahan, semisal di rapat-rapat formal pemerintahan sudah bersih dari rokok, di rapat-rapat formal DPRD (paripurna), di sekolah-sekolah sudah tidak ada guru yang mengajar sambil merokok, di beberapa Hotel, Restoran, pasar tradisional sudah menerapkan aturan tentang KTR.
Terkait iklan, promosi dan reklame rokok, Pemerintah Kota Bogor telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Walikota No.3 Tahun 2014 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Rokok di Seluruh wilayah Kota Bogor serta Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reklame.
Data Dispenda menunjukkan, dari tahun 2008 dengan jumlah reklame rokok sebanyak 372 buah sampai dengan tahun 2016 tidak ada iklan rokok di Kota Bogor jumlah PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kota Bogor terus meningkat.
Hal ini membuktikan tidak adanya iklan rokok di Kota Bogor tidak berpengaruh terhadap PAD Kota Bogor.
Bahkan, pemerintah Kota Bogor menunjukkan komitmennya melalui tidak terlaksananya penyelenggaraan Turnamen Bulutangkis Djarum pada Tahun 2015.
Memang, komitmen SKPD dalam penerapan KTPR melalui penandatanganan PAKTA INTEGRITAS di hadapan Bapak Walikota Bogor, tanggal 10 juni 2014, belum sesuai kenyataan yang diharapkan.
Berdasar hasil sidak KTR, monitoring serta tindak pidana ringan (Tipiring) yang telah dilakukan rutin oleh Tim Pembina KTR Kota beserta LSM peduli KTR, sebagian besar tempat kerja pemerintah belum menerapkan KTR dengan baik.
Tak heran, masyarakat menjadi kecewa melihat kondisi aparat yang harusnya menjadi contoh atau teladan, malah justru jadi pelanggar Perda KTR.
Perlu komitmen dan kesungguhan hati serta semangat yang sama mewujudkan terlaksananya 100% KTR di kota Bogor, khususnya di tempat kerja Pemerintah.
KTR tidak melarang pimpinan/karyawan/pengunjung/tamu untuk merokok, tetapi mengatur etika merokok di tempat yang telah ditentukan, melindungi perokok pasif, menciptakan lingkungan kerja yang bersih, sehat dan nyaman serta mencegah perokok pemula.
Nyatanya, kebijakan pemerintah tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah pusat dan antar kementerian mengenai upaya pengendalian tembakau.
Seperti diterbitkannya Peraturan Menteri Perindustrian No. 63 Tahun 2015 mengenai Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau (IHT) Tahun 2015–2020. Peraturan ini mencabut Peraturan Menteri Perindustrian No. 117 Tahun 2009.
Adanya pembatasan produksi rokok, yaitu 260 miliar batang antara tahun 2015–2020, mencerminkan pembuatan kebijakan yang hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhitungkan dampaknya.
Selanjutnya, masuknya RUU Pertembakauan secara tiba-tiba ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014 yang sedang digodok Pemerintah Pusat dan Legislatif lebih mencerminkan aspirasi industri rokok ketimbang kepentingan perlindungan kesehatan publik.
Beberapa isu yang mengemuka dalam RUU Pertembakauan adalah :
- Tidak adanya penjelasan tentang pemisahan tempat khusus merokok dan tempat bebas dari asap rokok yang bisa berdampak pada perokok pasif. (pasal 54) dan (pasal 55).
- Upaya peningkatan pengembangan Industri Hasil Tembakau (IHT) oleh Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan tembakau di dalam dan luar negeri melalui SNI dengan pemberian bantuan penyediaan prasarana pertanian dan sarana produksi pertanian yang diperlukan Petani Tembakau.
- Pemerintah dan Pemda punya kewajiban dan wewenang menetapkan harga dasar tembakau di tingkat petani tembakau, memfasilitasi kemitraan antara petani dan pelaku usaha, membantu distribusi dan tata niaga tembakau yang dihasilkan petani, melestarikan keberadaan kretek.
- Iklan dan promosi rokok melalui media cetak, elektronik, media luar ruang, online dalam jumlah terbatas dan waktu tertentu.
Pengecualian pencantuman - informasi tentang kandungan kadar tar dan nikotin untuk produk tembakau berupa kretek, cerutu, rokok daun, dan tembakau iris.
Hal diatas menggambarkan paradoks regulasi pemerintah, yang satu sisi mengeluarkan regulasi mengimplikasikan bahwa produk tembakau memiliki sifat merugikan.
Namun di sisi lain, pemerintah melakukan kebijakan yang bertentangan dengan pengendalian tembakau.
Pemerintah tampak mengutamakan kebijakan dan aksi yang bersifat ekonomi jangka pendek, dengan mendorong peningkatan produksi dan kurang memperhatikan dampak jangka panjang yang akan dihasilkan oleh rokok dari segi kesehatan, perilaku masyarakat, ekonomi, dan pendidikan terutama pada remaja.
Berbagai kebijakan tersebut menunjukkan adanya perbedaan kepentingan antara ekonomi dan sosial.Jejak industri tembakau ke banyak lapisan masyarakat maupun pemangku kepentingan telah membuat banyak pihak merasa bergantung pada industri tembakau.
Di tingkat Nasional, penerimaan negara dari cukai rokok dinilai cukup signifikan berperan dalam pemasukan negara. Sedangkan di tingkat daerah, besarnya pemasukan yang didapatkan dari Pajak Rokok Daerah seringkali pula menyebabkan kesan ketergantungan pendapatan daerah pada variabel pemasukan ini.
Pada sektor pembangunan lain, industri tembakau menawarkan beasiswa pendidikan, dan sponsorship untuk berbagai kegiatan kesenian dan hiburan yang digemari masyarakat umum, yang terbukti menambah kelompok target untuk bergantung kepada industri tembakau.
RUU Pertembakauan terhadap impelementasi KTR di Kota Bogor berdampak pada implementasi Perda No.1 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan reklame tidak efektif.
Pemerintah Kota Bogor telah menunjukkan sebagai kota yang berkomitmen pada kepentingan masyarakat serta generasi muda terhadap kesehatan publik dan HAM melalui semangat pengendalian tembakau.
Keberhasilan penerapan KTR di Kota Bogor perlu sinergitas dan komitmen yang kuat dari semua para pelaku kepentingan mulai dari Pemerintah, swasta dan masyarakat baik secara perorangan, kelompok maupun lembaga/organisasi.
Kota Bogor saat ini sudah menjadi salah satu percontohan penerapan KTR di Indonesia dan dianggap berhasil dalam implementasinya walaupun untuk kepatuhan masih belum optimal.
Banyak sekali kab/kota se Indonesia yang sudah studi banding untuk belajar tentang penerapan KTR di Kota Bogor. Oleh karena itu, sudah sewajarnya warga Bogor mencintai dan mewujudkan Kota Bogor yang sehat dan nyaman tanpa asap rokok melalui penerapan KTR di 8 kawasan.