Seminggu Sudah Kaki Petani Kendeng Dicor, Belum Ada Respon Presiden Jokowi
Sebanyak 50 orang petani asal Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah terus melakukan aksi unjuk rasa menolak pembangunan pabrik semen di wilayahnya.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 50 orang petani asal Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah terus melakukan aksi unjuk rasa menolak pembangunan pabrik semen di wilayahnya.
50 orang petani melakukan aksi cor kaki di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Meski diguyur hujan, tidak menyurutkan aksi para petani. Mereka tetap bertahan dengan menggunakan jas hujan plastik menghindari air hujan yang mengenai semen.
Para petani itu, sempat melakukan ritual. Mereka membawa hasil tanaman mereka berupa ubi dan pisang.
Hasil tani tersebut rencananya akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
"Kita hari ini bisa dilihat, kita selamatan, berdoa dan membawa banyak hasil pertanian kita selama ini," ujar Koordinator aksi Joko Priyanto di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Para petani telah melangsungkan aksinya sejak Senin (13/3/2017). Mereka memprotes izin lingkungan baru yang ditandatangani Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Izin yang diterbitkan Ganjar, membuat aktivitas penambangan PT Semen Indonesia berjalan. Penambangan itu yang diprotes para petani Kendeng.
Mereka menuntut Presiden Joko Widodo mencabut izin lingkungan PT Semen Indonesia yang dikeluarkan Ganjar. Serta menghentikan kegiatan penambangan karst yang dilakukan pabrik semen karena dinilai merusak lingkungan.
Diketahui sudah seminggu lamanya petani di wilayah Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah melakukan aksi di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
Aksi dimulai Senin (13/3/2017) kaki-kaki para petani pun dicor semen.
Hingga Senin (20/3/2017) ada 50 petani bersama 10 aktivis wanita melakukan aksi menolak berdirinya pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng.
Joko Priyanto mengatakan, aksi tersebut hingga kini belum mendapat tanggapan dari Presiden Joko Widodo.
"Sejauh ini belum ada respon dari Presiden," ujar Joko.
Joko menjelaskan, Mahkamah Agung sebelumnya sudah mengabulkan gugatan warga Kendeng untuk membatalkan izin pabrik semen itu.
Tapi, izin lingkungan baru ditandatangani Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Izin yang diterbitkan Ganjar membuat aktivitas penambangan PT Semen Indonesia di wilayah Pegunungan kendeng berjalan.
Penambangan tersebut yang diprotes para petani Kendeng.
"Kami di jalur pengadilan sudah menang tapi faktanya Gubernur Jawa Tengah masih mengeluarkan izin baru lagi terkait pengoperasian, pembangunan, penambangan PT Semen Indonesia," ujar Joko.
Berdasarkan situs resmi MA, gugatan tersebut diputus pada tanggal 5 Oktober 2016 lalu. Amar putusan mengabulkan gugatan dan membatalkan obyek sengketa.
Obyek sengketa yang dimaksud ialah izin lingkungan kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik semen milik PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, tertanggal 7 Juni 2012.
Namun, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo justru mengeluarkan izin baru untuk PT Semen Indonesia di wilayah Pegunungan Kendeng bernomor 660.1/6 Tahun 2017 tertanggal 23 Februari 2017.
Ganjar mengatakan, penerbitan izin lingkungan terbaru ini merupakan tindak lanjut atas rekomendasi dari tim Komisi Penilai Amdal (KPA). Kebijakan itu menuai protes para petani.
Aksi tersebut ditujukan untuk mendesak Presiden Joko Widodo menutup Pabrik Semen di Rembang.
"Kami menuntut untuk menutup pabrik semen di Rembang," ujar Joko.
Aksi yang sama pernah dilakukan oleh sembilan petani perempuan di depan Istana Negara pada April 2016.
Lalu, apa yang membuat para petani Kendeng ini rela mencor kaki untuk kedua kalinya dan mendesak bertemu dengan Presiden Jokowi?
Gunretno dari komunitas adat Sedulur Sikep yang mendiami kawasan Kendeng utara menuturkan, saat pertemuan pada 2 Agustus 2016, Presiden Joko Widodo menyepakati bahwa harus ada Kajian lingkungan hidup Strategis (KLHS) lebih dulu sebelum pabrik semen beroperasi di kawasan Kendeng.
Jokowi pun menjamin KLHS yang berada di bawah tim dari Kantor Staf Presiden dan Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan dilakukan secara terbuka.
"Presiden Jokowi menyepakati bahwa harus ada kajian di Kendeng dan jangan ada izin baru sebelum KLHS selesai dilakukan. Presiden Jokowi pun menjamin proses KLHS ini harus terbuka," ujar Gunretno.
Menurut Gunretno, aksi protes yang dilakukan oleh petani Kendeng tidak semata bertujuan untuk mempertahankan hak hidup petani yang ada di Kabupaten Rembang saja, melainkan demi kelestarian alam di Jawa Tengah.
Aktivitas penambangan di kawasan karst, kata Gunretno, memiliki dampak yang merusak bagi keberadaan sumber air di bawah Pegunungan Kendeng.
Sementara, sudah puluhan tahun para petani di Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan bergantung pada sumber air dari Pegunungan Kendeng.
"Jawa Tengah seharusnya menjadi lumbung pangan karena daya tampung pulau Jawa itu tidak lagi mendukung untuk kegiatan eksploitasi seperti pabrik semen," ucapnya.
Berdasarkan hasil kajian dan pemantauan Komnas HAM sejak Juni 2015 hingga Agustus 2016, terdapat dampak negatif atas keberadaan pabrik semen terhadap hak atas kesehatan, hak atas lingkungan hidup, dan hak atas air.
Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron mengatakan, peningkatan konsumsi semen tentu akan memerlukan tambahan kapasitas produksi dengan membangun pabrik-pabrik semen baru.
Namun, pembangunan tersebut juga berpotensi mengancam keberlanjutan fungsi kawasan karst (kapur) dan pelanggaran HAM masyarakat sekitar.
Nurkhoiron menjelaskan, umumnya kawasan karst seperti di Pegunungan Kendeng terdapat sumber air yang penting bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Masyarakat di sekitar Kendeng mengandalkan sumber mata air tersebut untuk irigasi sawah dan dikonsumsi.
Apabila pembangunan pabrik semen tidak memperhatikan kelestarian lingkungan sekitar, diprediksi beberapa wilayah di sekitar Pegunungan Kendeng akan mengalami krisis air berkepanjangan.
"Kami memahami akan meningkatnya kebutuhan semen dan tidak ada bahan baku pengganti selain kapur. Namun pemerintah juga harus memperhatikan hak masyarakat sekitar," ujar Nurkhoiron. (nis/kps/wly)