KPK Tetapkan Mantan Kepala BPPN Syarifuddin Arsyad Sebagai Tersangka Korupsi BLBI
"(Perbuatannya) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara hingga Rp 3,7 triliun dengan penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim,"
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syarifuddin Arsyad Temenggung (SAT) sebagai tersangka.
Syarifuddin jadi tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.
KPK melakukan penyelidikan kasus ini mulai tahun 2014 dengan meminta keterangan dari banyak pihak.
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan mengatakan tersangka diduga telah menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukannya.
"(Perbuatannya) dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara hingga Rp 3,7 triliun dengan penerbitan SKL BLBI untuk Sjamsul Nursalim," ujar Basaria, Selasa (25/4/2017) di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Atas perbuatannya, Syafruddin Arsyad Temanggung disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Untuk diketahui, BDNI adalah milik Sjamsul Nursalim.
Bank tersebut merupakan satu diantara bank yang mendapat SKL BLBI senilai Rp 27,4 triliun.
Surat lunas tersebut terbit April 2004 dengan aset yang diserahkan diantaranya PT Dipasena (laku Rp2,3 triliun), GT Petrochem, dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun).
KPK sendiri telah menyelidiki penerbitan SKL BLBI kepada sejumlah pengusaha, sejak 2013 lalu.
Sedikitnya, ada 48 bank yang menerima bantuan Bank Indonesia, dengan total Rp 147,7 triliun.
Sejumlah pejabat BPPN hingga menteri di era mantan presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri telah dimintai keterangannya.
SKL BLBI dikeluarkan BPPN di era Megawati, berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10.
SKL tersebut dipakai Kejaksaan Agung untuk menghentikan penyidikan (Surat Perintah Penghentian Penyidikan/ SP3) terhadap sejumlah debitur bermasalah.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan, dari Rp147,7 triliun dana BLBI yang dikucurkan, Rp 138,7 triliun dinyatakan merugikan negara.