Prihatin Terhadap Kondisi Kebangsaan, PGI Kirimkan Surat Kepada Presiden Jokowi
Gonjang ganjing karena isu SARA yang sangat kentaldalam Pilkada DKl, yang kelihatannya "diboncengi" oleh kepentingan idiologi
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Persekutuan Gereja-gereja di lndonesia (PGl), menyampaikan Surat tentang "Keprihatinan atas Kondisi Kebangsaan Kita" kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Keprihatinan PGI ini telah disampaikan secara tertulis melalui surat kepada Presiden RI, lr. Joko Widodo, dengan No: 258/PGl-XVl/2017 tertanggal 2 Mei 20L7.
Surat PGI kepada Presiden tentang "Keprihatinan atas Kondisi Kebangsaan Kita" tersebut ditandatangani Pdt Henriette T. Hutabarat-Lebang, sebagai Ketua Umum PGl dan Pdt Gomar Gultom, sebagai Sekretaris Umum PGl.
Kepada Tribunnews.com, Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampow menjelaskan keprihatinan ini terjadi ketika Pilkada DKI Jakarta usai, situasi sosial-politik bangsa ini ternyata masih belum reda.
Gonjang ganjing karena isu SARA yang sangat kentaldalam Pilkada DKl, yang kelihatannya "diboncengi" oleh kepentingan idiologi oleh kelompok-kelompok radikal dan intoleran, malah terasa makin kuat dan masif.
Fenomena ini menimbulkan ketakutan dan kekuatiran di kalangan masyarakat, khususnya dikalangan masyarakat "minoritas". Karena itu, muncul banyak suara keprihatinan yang disampaikan secara terbuka oleh berbagai kelompok masyarakat, baik melalui media massa, media cetak, media online dan media sosial.
"Pada umumnya bernada gelisah, kuatir, dan takut terhadap masa depan bangsa ini, melihat situasi yang ada," ujar Jerry kepada Tribunnews.com, Rabu (3/5/2017).
Berikut poin-poin keprihatinan PGI tentang kondisi kebangsaan saat ini, sebagaimana yang disampaikan melalui surat kepada Presiden:
1. Salah satu keprihatinan yang paling mengemuka adalah kondisi kebangsaan kita yang dirasakan sedang berada di ujung tanduk.
Di tengah upaya Bapak mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila melalui Revolusi Mental, kami melihat kecenderungan sekelompok masyarakat yang justru berniat meminggirkan Pancasila dari kehidupan kita berbangsa dan bermasyarakat, dan menggesernya dengan dasar agama.
Pada hemat kami, pengedepanan agama secara formal sebagai dasar dalam kehidupan kita berbangsa hanya akan membawa persoalan baru yang menuju kepada perpecahan.
Para pendiri bangsa kita telah sangat arif menempatkan Pancasila, dan bukan agama, sebagai dasar negara kita. Tentu nilai-nilai agama tetap akan menjadi landasan etik, moral dan spiritual kita, yang diharapkan membangun semangat persaudaraan sebagai bangsa yang majemuk serta memberi kontribusi positif bagi kemaslahatan seluruh ciptaan Tuhan.
Tentu saja nilai-nilai agama tersebut haruslah telah melalui proses objektifikasi, sehingga dapat diterima semua kalangan dan tidak mendiskriminasikan orang dari latar belakang keyakinan dan kelompok mana pun.
2. Sejalan dengan itu, kami juga prihatin dengan makin maraknya aksi-aksi intoleran, kekerasan dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat, yang dalam beberapa kasusterkesan dibiarkan oleh aparat negara. Hal ini makin memprihatinkan karena ternyata pendidikan di sekolah-sekolah turut mempersubur aksi-aksi ini, baik oleh guru-guru yang tidak memiliki komitmen kebangsaan maupun oleh buku-buku yang berisikan ajakan memerangi mereka yang berbeda keyakinan.
Kami juga prihatin dengan semakin maraknya berbagai aksi/deklarasi sektarian yang berkomitmen menerapkan ideologi di luar Pancasila. Provokasi semacam ini akan semakin melemahkan sendi-sendi kehidupan kita bersama sebagai bangsa yang majemuk. Apalagi
ditengarai, aksi dan deklarasi semacam ini juga didukung oleh pernyataan-pernyataan para pejabat publik kita. Kami berpandangan, selama masih ada kelompok yang mengutak-atik dasar negara, dan dibiarkan oleh aparat negara, maka kita tidak akan pernah siap untuk
membangun, bahkan sedang menuju kehancuran sebagai bangsa.
Sejalan dengan itu, kami juga prihatin dengan kecenderungan sebagian masyarakat kita yang selalu memaksakan kehendak dan aspirasinya lewat pengerahan massa, ketimbang menempuh jalur hukum dan dialog yang lebih bermartabat. Kecenderungan semacam ini
sangat potensial meruntuhkan sendi-sendi demokrasi yang kita perjuangkan selama ini dan menggantinya dengan mobokrasi.