Kalau Pemilu Gunakan e-Voting, Penyelenggaranya Bisa Dibui KPK
"Lebih baik DPR tidak pakai e-voting. Negara lain saja gunakan e-voting bermasalah sampai sekarang."
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Metode pemungutan suara secara elektronik atau e-Voting dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang baru menjadi bahan perdebatan.
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis berpendapat, Pemilu melalui e-Voting berdampak hukum buruk bagi penyelenggaranya, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kalau di Pemilu Serentak tahun 2019 mendatang memanfaatkan e-Voting itu bisa berakhir di KPK, seperti e-KTP berakhir di penjara," kata Margarito Kamis, Sabtu (20/5/2017) dalam diskusi dengan topik RUU Pemilu dan Pertaruhan Demokrasi, di Cikini, Jakarta Pusat.
Margarito meyakini, pihak-pihak yang mengatur soal e-Voting sudah bisa dipastikan akan berakhir diproses hukum oleh KPK.
Karena itu dia menyarankan agar DPR tidak melaksanakan e-Voting.
"Lebih baik DPR tidak pakai e-voting. Negara lain saja gunakan e-voting bermasalah sampai sekarang. Jadi dari pada berakhir di KPK, baiknya tidak usah," tambahnya.
Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu, Lukman Edy mengungkapkan ada tiga opsi yang masih bergulir terkait e-Voting.
Opsi pertama, menolak menggunakan e-voting karena dianggap masyarakat Indonesia belum mampu dan tidak siap memanfaatkan teknologi tersebut.
Opsi kedua, memanfaatkan pemilu dengan e-Voting pada Pemilu Serentak tahun 2019 mendatang. Karena menurut sejumlah pihak hal tersebut sudah pernah di uji coba dalam pemilihan kepala desa.
Selanjutnya opsi terakhir yakni sebagian besar fraksi menganggap bahwa e-Voting adalah keniscayaan.