Perludem: Ambang Batas Pencalonan Presiden Sudah Tak Relevan
Dengan melaksanakan pemilu secara serentak, menurutnya, sudah tidak ada lagi ambang batas selisih suara
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyayangkan Pansus RUU Pemilu dan Pemerintah masih sibuk membahas isu ambang pencalonan presiden sebagai salah satu isu krusial dalam RUU Pemilu.
Padahal, dalam konsep pemilu serentak, ambang batas pencalonan presiden sudah sangat tidak relevan lagi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengutip Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyebutkan “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum”.
Jika melihat konstruksi pasal ini, kata Titi, seluruh partai politik yang sudah menjadi peserta pemilu memiliki hak untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Proses pengajuan ini kemudian yang diberikan dua pilihan, yakni masing-masing partai politik mengajukan pasangan calon sendiri, atau membentuk gabungan partai politik untuk mengusung satu pasangan calon presiden.
Tetapi, imbuhnya, Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 memberikan hak yang sama kepada partai politik peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden.
"Ketika ambang batas pencalonan presiden masih diberlakukan, maka aka nada pembatasan hak bagi partai politik peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon presiden," ujar Titi kepada Tribunnews.com, Senin (5/6/2017).
Selain itu lanjutnya, Pemilu 2019 akan dilaksanakan secara serentak antara memilih anggota DPR dan memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan melaksanakan pemilu secara serentak, menurutnya, sudah tidak ada lagi ambang batas selisih suara yang bisa digunakan sebagai prasyarat untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Bukan itu saja tegas Titi, wacana ambang batas pencalonan presiden dalam pelaksanaan pemilu serentak berpotensi besar akan diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan Putusan MK adalah sesuatu yang harus diperhatikan oleh para pembentuk undang-undang.
Ketika ada norma yang sangat terang bertentangan dengan UUD NRI 1945, sebaiknya pembentuk undang-undang tidak perlu untuk memasukkan norma itu ke dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu yang sekarang sedang dibahas.
Sementara itu di tempat berbeda, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebut bahwa Pemerintah memiliki keinginan agar Presidential Threshold atau ambang batas presiden pada Pemilu Tahun 2019 mendatang yaitu 20 hingga 25 persen.
"Pemerintah ingin 20 hingga 25 (persen)," ujar Tjahjo usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (6/5/2017).
Tjahjo mengungkapkan saat ini di DPR masih ada tiga sampai empat fraksi yang menginginkan agar ambang batas presiden sebesar 0 persen.
"Masih ada tiga sampai empat fraksi masih ingin nol persen. Sebagian besar 20 hingga 25," kata Tjahjo.
Alasan Pemerintah lebih memilih ambang batas presiden sebesar 20 hingga 25 persen agar partai-partai baru tersebut teruji terlebih dahulu eksistensinya sebelum mengusung calon presiden atau wakil presiden.
"Partai untuk menentukan calon presiden harus teruji dulu. Jangan partai baru baru ikut sekarang langsung mencalonkan presiden. Ya saya enggak sebut lah partai apa, tapi kan ada juga. Harusnya diuji dulu," kata Tjahjo.