Mengenang Kembali Kamp Kerja Paksa di Tanggerang
Di sana pada setengah abad silam, ada jejak kamp tahanan politik yang dituduh tersangkut peristiwa G30S.
TRIBUNNEWS.COM – Daerah Cikokol, Tangerang, menyimpan sejarah kelam. Di sana pada setengah abad silam, ada jejak kamp tahanan politik yang dituduh tersangkut peristiwa G30S.
Sekitar 2000-an tapol dipaksa kerja dan mengubah hutan belantara menjadi lahan pertanian.
Wartawan KBR bersama dua tapol; Tuba Bin Abdurahim dan Bedjo Untung, mendatangi bekas lokasi kamp tersebut. Keduanya berkisah tentang kejinya perlakuan tentara pada mereka.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Tangerang adalah kota metropolitan. Di sini perumahan mewah, mal, dan perkantoran, tak sulit ditemui. Kota ini pun seakan tak pernah tidur.
Tapi, setengah abad silam, tak jauh dari kota, yakni di Desa Babakan, Cikokol, ada jejak perbudakan terhadap para tahanan politik yang dituduh tersangkut dengan peristiwa G/30S.
Wartawan KBR, Eli Kamilah bersama Tuba Bin Abdurrahim dan Bedjo Untung, mendatangi daerah itu pada pertengahan April lalu.
Dua lelaki sepuh itu adalah bekas tapol yang sempat mencicipi pahitnya diperlakukan layaknya budak dalam kamp.
Dengan mobil pick-up Daihatsu buatan 1990-an, kami mengitari daerah Babakan.
Bedjo lantas menunjuk Lapas Pemuda Tangerang. Dulu, bangunan itu merupakan kamp tahanan politik.
Kata Bedjo, ada 2000-an tapol yang dijebloskan ke sana sepanjang 1965-1979. Ia sendiri dimasukkan ke kamp pada 1973 dan bebas enam tahun setelahnya.
Di kamp itu, para tapol lalu dipaksa membabat hutan untuk disulap menjadi lahan pertanian. Jadilah kebun jagung, kedelai, dan kandang kerbau.
“Jadi dulunya jalan ini untuk tapol. Ini sawah, gedung, ada kebun jagung dan kedelai. Saya masih ingat ini kandang kerbau yang tangcity. Ini sebelah kiri saya untuk jalan menuju areal satu dulunya adalah pakai kayu kelapa, kecil jalannya. Ini polres metro tanggerang,” ungkap Bedjo.
Mereka pun memutar. Menuju perumahan pegawai Lapas Pemuda Tangerang.
Di waktu itu, lanjut Bedjo, perumahan tersebut adalah lahan kosong. Setiap pagi, para tapol digiring berjalan kaki untuk berkumpul. Lagi-lagi, mereka diperintah menggarap lahan itu.
“Ini dulunya tandus, kemudian jadi subur. Beras berlimpah. Kita nggak boleh tapi, beras berlimpah, tetapi malah cuman dapat jatah. Jadi untuk bertahan hidup kita menangkap ular, bekicot,” ujar Bedjo.
Lahan pertanian itu sebetulnya diperuntukkan untuk memberi makan ribuan tapol. Hanya, ujung-ujungnya malah untuk memakmurkan kantong-kantong tentara.
Padahal sekali panen, satu hektar sawah bisa menghasilkan 3 ton beras, namun tak secuilpun untuk memenuhi makanan para tapol.
“Inilah yang dikuasai oleh tentara dan menjadi kekayaan tentara. Bukan padinya saja, tapi ternak. Itu gemuk-gemuk. karena tanah kosong. Itu menjadi kekayaan pribadi tentara. Belum jatah makan, harusnya diberikan daging, telor dll, disunat, kemudian yang hanya dikasih beras rusak. Ini bagian dari areal dua. Ini berubah karena akan menjadi pasar, ada gedung sekolah juga,” terang Bedjo.
Tuba Bin Abdurahman, juga bekas tapol di kamp Tangerang. Dia masuk kamp pada 1966-1970.
Lalu dipindah ke Salemba selama empat tahun. Kembali lagi ke kamp pada 1971-1974. Selama di sana, ia dipekerjakan sebagai Kepala Dapur Umum.
Tuba masih ingat, tapol hanya diberi jatah makan sepiring nasi. Itu pun dibagi untuk siang dan sore. Sementara lauknya, hanya tempe yang direbus bumbu kuning.
“Satu orang 325 gram dijadikan makan dua kali. Makan siang 175 gram berupa beras. Makan sore 150 gram. Lauknya tempe rebus digodok kuyit taruh di atasnya. Sayurnya kangkung yang boleh kita nanam sendiri, air medidih, dikasih garam, diaduk. Makannya cuman itu aja,” kata Tuba.
Tuba juga ingat, di area kamp tersebut ada dua blok penjara B dan C. Masing-masing blok berisi kamar-kamar kecil yang jumlahnya mencapai 150.
Satu kamar menampung tiga orang. Tapi, ada juga kamar agak besar yang bisa menampung 40 sampai 80 tapol. Nama kamarnya Sandiwara dan Sekolah.
Tuba ditempatkan di Blok B. Kamarnya diisi tiga orang. Layaknya sel penjara, tak ada alas tidur. Kalaupun ada tikar, itu adalah kiriman keluarga.
Dalam kondisi lapar, mereka tetap dipaksa kerja. Pernah saking laparnya, Tuba dan ribuan tapol lainnya terpaksa makan bangkai kerbau.
“Dulu tuh ada proyek mengurus kerbau, terus ada yang mati. Kata tentara tembak saja, terus kubur. Nah malam-malam kita bongkar, gali dagingnya kita angkat, masak dan bagikan ke dalam. Kerbau satu untuk 1600an. Bisa makan daging,” ujar Tuba.
Selama di kamp, para tapol dituntut patuh dan tak boleh melawan. Sekali saja melanggar aturan, bukan hanya satu yang dihukum, tapi semua tapol.
Pernah, kata Tuba, ada salah satu tapol mengirim surat kepada keluarganya untuk mengirimkan berbagai jenis makanan. Karena ada larangan tak boleh memegang pensil, kertas ataupun alat tajam lainnya, waktu besuk dihentikan selama tiga bulan.
“Itu panjang sekali akibatnya. Itu tiga bulan besukan ngga masuk. Akhirnya hampir setiap hari orang mati, dua tiga. Terus aja. Kalau satu hari rata-rata dua, kalau tiga bulan 180 orang. Meninggalnya lapar, sakit,” terang Tuba.
Padahal, waktu besuk membantu mereka mendapat asupan makanan. Dan akibat penghentian besuk itu pula, setiap hari ada 2-3 tapol yang mati kelaparan.
Tuba dan tiga temannya lantas nekat. Demi bertahan hidup, dia mencuri beras dan panganan lainnya untuk tambahan makan para tapol.
“Jadi kalau ada panen, saya datang bertiga awas hati-hati musang datang, perketat penjagan. Saya lakukan tapi memang membantu teman-teman. Supaya fisiknya kuat. Mereka kan kurang makan. Bahkan air cuci beras kita godok dan bagikan dari teman-teman yang sakit,” ujar Tuba.
Sial, akibat mencuri beras, Tuba akhirnya dipindah ke penjara Salemba, Jakarta.
“Penjara Tanggerang tahun 1966 sampai 1970 selama 4 tahun bolak balik Salemba. Saya dituduh sebagai musang proyek yang selalu gerogotin musang proyek, ada ayam hilang, gabah hilang larinya ke saya. Ada 4 orang, Bambang, Bedjo, parijan dan saya,” ujar Tuba.
Pada 1971, Tuba dipindah lagi ke kamp Tangerang dengan alasan tenaganya dibutuhkan. Meskipun itu tak lama. Sebab pada 1973 dia dikembalikan ke Salemba, sebelum akhirnya dipindah ke Pulau Buru pada tahun yang sama. Barulah pada 1978, Tuba dibebaskan.
“Kemungkinan setelah diseleksi saya masuk golongan C adalah anggota aktif. Kalau golongan A terlibat langsung, B tidak telibat langsung tapi kepemimpinan. Golongan C anggota yang aktif. Golongan C ini yang susah. Untuk diadili tidak ada fakta, untuk dibebaskan pemerintah takut. Yang sulit diidentifikasikan.”
Bedjo Untung dijebloskan ke kamp karena aktif mengikuti pergerakan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), yaitu organisasi underbow PKI.
Sementara Tuba karena tergabung dalam Pemuda Rakyat, organisasi yang juga berafiliasi dengan PKI. Keduanya dimasukkan begitu saja ke kamp tanpa proses pengadilan. Hingga bebas, toh status mereka ET atau Eks Tapol.
Sementara itu, Bedjo yang kini berusia 69 tahun khawatir bukti sejarah penyiksaan akan turut menghilang digerus zaman. Padahal semestinya, generasi muda tahu bahwa ada ribuan manusia yang dibui tanpa tanpa diadili selama bertahun-tahun.
“Jadi dulu yang kamp kerja paksa dihilangkan, jadi masyarat ngga tahu, apalagi generasi sekarang. Untung saja saya masih hidup. Jadi bisa cerita,” ungkap Bedjo.
Bedjo dan Tuba berharap Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera mengidentifikasi bukti-bukti pelanggaran HAM masa lalu tersebut.
“Jadi mestinya Komnas HAM harus bisa mendeteksi paling tidak pertanda, bahwa di sini dulu ada kamp konsentrasi, bahwa generasi sekarang dulu ada tempat penyiksaan korban 1965. Kita mendesak Komnas HAM segera melakukan verifikasi observasi dan survei untuk ditindaklanjuti. Paling tidak tanda, kalau kuburan massal ada nisannya,” ujar Tuba.
Tapi, bagaimana sebetulnya kisah Tuba, pria asal Brebes ini sampai bisa dikerangkeng dalam kamp? Sebab pria sepuh ini takkan lupa pada penyiksaan selama di kamp, digebuk rotan dan dihantam bogem tentara.