Sudah 22 Saksi Diperiksa Bareskrim untuk Kasus PT Garam
Bareskrim Polri terus mendalami pihak lain yang terlibat dalam dugaan penyimpangan importasi garam industri 75 ribu ton.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Fajar Anjungroso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah menetapkan Dirut PT Garam Achmad Boediono sebagai tersangka, Bareskrim Polri terus mendalami pihak lain yang terlibat dalam dugaan penyimpangan importasi garam industri 75 ribu ton.
Sejauh ini, sudah 22 saksi dimintai keterangan. Dan Bareskrim tengah menguatkan alat bukti sebelum menetapkan satu tersangka lainnya.
"Nanti alat bukti yang akan memastikan dan menjelaskan soal itu," ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri, Brigjen Agung Setya, di kantornya, Gedung KKP, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (13/6/2017).
Agung menjelaskan, pihaknya tengah menganalisis temuan sejumlah dokumen guna memastikan ada atau tidaknya pihak lain yang harus bertanggung secara hukum atas penyimpangan importasi garam industri PT Garam.
Sementara itu, sebanyak 22 saksi yang sudah dimintai keterangan di antaranya, 8 pejabat dan pegawai PT Garam, 2 pejabat Kementerian Perdagangan dan 2 pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Seorang pejabat KKP yang telah dimintai keterangan adalah mantya Satyamurti Poerwadi.
"Pemeriksaan, totalnya ada 22 saksi yang kami periksa sampai hari ini. Hari ini masih ada pendalaman dan pencarian dokumen di beberapa tempat," ungkapnya.
Agung mengakui, pihaknya juga akan memintai keterangan pejabat Kementerian BUMN yang diduga mengetahui perihal kebijakan izin importasi garam konsumen.
"Terkait dengan masalah garam ini, tentunya semua pihak yang berkontribusi sehingga bisa ada (izin) importasi garam ini akan kami minta klarifikasi, termasuk meminta klarifikasi temuan dokumen," ujar Agung.
"Kami bekerja secra materiilnya, siapa pihak-pihak yamg membuat dokumen itu. Kami akan minta klarifikasi soal dokumen operasional itu," sambungnya.
Peraturan Menteri Perdagangan No 125/M-Dag/Per/2015 tentang Ketentuan Impor Garam, impor garam konsumsi dapat dilakukan oleh BUMN pergaraman setelah mendapat penugasan dari menteri BUMN dan rekomendasi dari menteri kelautan dan perikanan.
Diketahui, PT Garam sebelumnya sudah mengantongi Surat Persetujuan Impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan untuk importasi garam konsumsi sebanyak 75.000 ton, sebagaimana SPI Nomor 42 dan SPI Nomor 43.
Tapi, Bareskrim Polri menemukan justru PT Garam mengimpor garam industri sebanyak 75 ribu ton dengan kadar NaCl di atas 97 persen.
Temuan penyidik Dittipideksus Bareskrim, pihak PT Garam melakukan penyelewenangan dalam importasi dan distribusi garam industri sebanyak 75 ribu ton oleh PT Garam.
Sebanyak 1.000 ton garam industri yang diimpor itu dikemas dalam kemasan 400 gram dengan merek Garam cap SEGI TIGA G dan dijual untuk kepentingan konsumsi. Adapun sisanya 74.000 ton diperdagangkan atau didistribusikan kepada 45 perusahaan lain.
Penyimpangan importasi yang dilakukan oleh PT Garam ini diduga untuk menghindari pajak biaya masuk sebesar 10 persen. Akibatnya, kerugian negara sementara sebesar Rp3,5 miliar akibat hilangnya biaya masuk tersebut.
Sebelum importasi garam industri tersebut dilakukan, PT Garam melakukan kesepakatan penjualan garam konsumsi kepada 45 perusahaan, dan perusahaan tersebut harus melakukan pembayaran di muka dengan harga garam konsumsi.
Namun ternyata garam yang diberikan kepada 45 perusahaan tersebut adalah garam industri. Dengan kata lain PT Garam membeli garam industri, kemudian menjual dengan harga garam konsumsi.
Hal ini merugikan 45 perusahaan tersebut, karena pihak perusahaan harus membayar dengan harga garam konsumsi namun menerima garam industri.
Sebenarnya ke-45 perusahaan tersebut dapat juga melakukan importasi garam industri tanpa melalui PT Garam, namun jika ingin garam konsumsi harus melalui PT Garam.
Harga garam industri yang diimpor PT Garam sekitar Rp460/Kg, kemudian PT Garam menjual dengan harga garam konsumsi seharga Rp935-1.100/Kg.
Berdasarkan dokumen importasi, PT Garam membayar garam industri yang impornya sebesar Rp 31 miliar. Dan kemudian mereka menjual kepada 45 perusahaan dengan total harga Rp 71 miliar.