KPK Bisa Berubah Jadi Lembaga Politik Jika Respon Pansus Angket
Bahkan kata dia, semakin menguatkan opini publik bahwa Angket untuk melemahkan KPK.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepatutnya tidak merespon dalam bentuk apapun terkait Angket yang diajukan DPR RI, mengingat baik prosedur maupun substansinya tidak berdasar hukum.
Sehingga jika memenuhi permintaan Angket DPR RI ini maka, pegiat antikorupsi, Julius Ibrani, dari Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), KPK sama saja mengafirmasi dan melegitimasi pelanggaran hukum yang terjadi.
"Dan ini bisa menimbulkan asumsi publik bahwa KPK justru berubah wujud menjadi lembaga politik juga," ujar Julius Ibrani kepada Tribunnews.com, Senin (19/6/2017).
Jadi sudahlah tepat, menurut Julius Ibrani, bahwa KPK menolak permintaan Pansus Angket untuk pemanggilan mantan Anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani, untuk dimintai keterangan soal surat pernyataannya.
"Sudah lah tepat KPK menolak permintaan Pansus Angket,"katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan selain persoalan dasar hukum yang tidsk tepat secera objek dan subjek untuk Hak Anget DPR RI, Pansus Angket perlu memastikan kepada publik bahwa surat-surat yang ditujukan kepada KPK mengatasnamakan Pansus sudah sesuai administrasi, dengan menyertai SK (Keputusan) DPR dan Berita Negara yang kemudian dikirimkan kepada Presiden sesuai Pasal 172 Tatib DPR RI.
Jika tidak maka pemanggilan berulang kali pun, imbuhya, tetap tidak memiliki dasar hukum.
Bahkan kata dia, semakin menguatkan opini publik bahwa Angket untuk melemahkan KPK.
Pansus Hak Angket terhadap KPK menjadwalkan rapat dengar pendapat umum, Senin (19/6/2017), Pukul 14.00 WIB.
Sedianya, Pansus mengagendakan pemanggilan mantan Anggota Komisi II DPR, Miryam S Haryani, untuk dimintai keterangan soal surat pernyataannya.
Akan tetapi, pemanggilan Miryam belum mendapatkan persetujuan dari KPK.
"Kami akan bacakan surat tersebut (surat KPK tak bisa menghadirkan Miryam) dalam persidangan hak angket. Dan kemudian tentu saja kami akan kirimkan pemanggilan yang kedua," ujar Anggota Pansus Hak Angket KPK, Bambang Soesatyo, melalui pesan singkat, Senin (19/6/2017).
Pansus akan menjadwalkan pemanggilan kedua terhadap Miryam.
Jika panggilan tersebut tak dipenuhi sebanyak tiga kali, maka Pansus akan melakukan pemanggilan paksa.
Bambang mengatakan, aturan soal pemanggilan paksa selain diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga tercantum dalam Pasal 204 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa seorang Warga Negara Indonesia (WNI) atau Warga Negara Asing (WNA) wajib memenuhi panggilan panitia angket.
"Jika tidak memenuhi panggilan tiga kali berturut-turut, maka Panitia Angket bisa meminta bantuan Polri untuk memanggil paksa," ujar Politisi Partai Golkar itu.
Oleh karena itu, Pansus Angket KPK menanggapi santai pernyataan KPK yang tak memberikan izin kepada Miryam untuk datang ke DPR dan memberikan pernyataan kepada Pansus.
"Kami santai saja. Kami hanya melaksanakan tugas berdasarkan konstitusi UUD 1945 dan UUMD3. Bagi yang tidak setuju, ya silakan amandemen UUD 1945 dan revisi UU MD3," kata Bambang.
Sebelumnya Ketua KPK Agus Rahardjo sebelumnya telah menyatakan tidak akan mengizinkan Miryam S Haryani untuk memenuhi panggilan Pansus Hak Angket KPK.