Ketika Berandalan dan Pemadat Bertobat Jadi Anak Pesantren
Pondok Pesantren Metal Tobat Sunan Kalijaga di Gandrungmangu, Cilacap, memiliki santri yang luar bisa, yakni berandalan, pemabuk, dan pemadat.
TRIBUNNEWS.COM - Pondok Pesantren Metal Tobat Sunan Kalijaga di Gandrungmangu, Cilacap, memiliki santri yang luar bisa, yakni berandalan, pemabuk, dan pemadat.
Tak seperti pesantren lainnya, pesantren ini membolehkan santrinya bermusik dan berambut gondrong. Beberapa di antaranya, bertato.
Mereka pun memiliki kelompok musik. Tapi jangan salah, dari sini lah mereka kemudian menyiarkan ajaran agama ke sekolah, radio, dan mushala.
Bagaimana kisahnya? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Di Kecamatan Gandrungmangu, Cilacap, Jawa Tengah, ada satu pesantren yang tak biasa. Namanya Pondok Pesantren Metal Tobat Sunan Kalijaga.
Seperti namanya, pesantren ini berisi anak-anak penyuka musik metal.
Ketika wartawan KBR Muhamad Ridlo kesana, seorang santri berusia 19 tahun menyambut. Tapi, pertemuan mereka tak berjalan mulus. Sebab apa yang Ridlo tanyakan tak dijawabnya. Ia pun tampak terbata-bata dan kemudian memanggil Lurah Pondok, sebutan untuk Ketua Pengurus Pondok.
Pesantren ini, pernah Ridlo kunjungi empat tahun silam atau pada 2013. Tapi, kala itu, hanya ada dua bangunan utama; aula dan asrama putra-putri. Namun sekarang? Sejumlah bangunan baru berdiri.
Seorang santri lantas menghampiri Ridlo. Namanya Rio Nurdiyanto, Lurah Pondok. Ridlo lalu diajak ke kamar Lurah Pondok yang berada di lantai dua asrama putra.
Di kamar itu, seorang santri berkaos oblong tanpa lengan sedang bermuthola’ah alias membaca kitab klasik kusing. Sementara tangannya memegang telepon genggam. Si santri menyandarkan tubuhnya ke lemari kayu yang terpasang poster Bob Marley.
Kata Nurdiyanto, para penghuni pesantren beragam. Mulai dari anak metal, orang dengan gangguan kejiwaan, hingga anak jalanan.
“Kurikulumnya sama, sih Mas. Kaya, semuanya, basis pesantren itu digarap semua. Seperti Nahwu, sorof, tajwid, Al Quran, tafsir, semuanya ada. Cuma kalau di sini kan ada rehabilitasinya mas. Di sini ada beberapa, ada yang rehabilitasi narkoba, rehabilitasi temperamental, orang gila semuanya digarap. Anak jalan juga. Kalau anak jalanan sekarang ada 18 anak,” ujar Rio Nurdiyanto.
Rio, begitu ia dipanggil, bercerita saat ini ada 450-an santri yang tinggal di asrama. Sementara puluhan santri kalong datang dan pergi saban pagi dan sore dari kampung atau desa sekitar. Santri kalong adalah sebutan untuk santri yang belajar namun tak tinggal di komplek pesantren.
Di pondok ini, Rio diminta mengisi kajian keagamaan di berbagai tempat. Katanya, ia kerap mengisi kajian Islam secara rutin. Misal di radio, sekolah umum, dan mushala.
“Kita dibagi dua. Ada Ma’had Tsanawi dan Ma’had Aly. MA’had Tsanawiyah itu kelas 1 sampai tiga. Kemudian Ma’had Aliyah kelas 4 sampai 6. Kemudian baru masuk ke Pergis, Perguruan Islam. Rutin kajian di luar. Seperti santri sini kan ada yang diminta mengisi di luar. Seperti kita (saya), Jumat mengisi di Radio Kusuma, Jumat pekan terakhir tiap bulan mengisi di SMP N 1 Bantarsari. Paling rutinnya seperti itu paling. Kemudian mengisi di mushola-mushola, juga rutin,” jelasnya.
Adalah Kyai Haji Soleh Aly Mahbub, pendiri Pondok Pesantren Metal Tobat. Abah Soleh, begitu ia disapa, bercerita nama pesantren itu berasal dari warga sekitar.
“Itu sebetulnya nama dari orang kampung. Asli dari orang kampung nama itu. Karena nama itu dulu, tahun 1999, kebanyakan yang mondok itu kan narkoba-is. Pecandu narkoba. Makanya banyak orang kampung mengatakan ‘Ini, kelompoknya Metal (yang) Tobat’. Dan masih bertahan sampai sekarang ini. Masih berjalan sampai saat ini,” papar Kyai Soleh.
Usia Abah Soleh masih terhitung muda, 46 tahun. Dia suka memakai kaos oblong atau berkerah. Kala tak mengimami shalat, biasanya dia hanya berkemeja. Kadang, kyai nyentrik ini masih mengenakan celana jins.
Pria kelahiran 1970 ini sempat menuntut ilmu di Pondok Pesantren Langgar Wali Sunan Kalijogo, Desa Kadilangu Wonosalam, Demak, yang diasuh Kyai Raden Masruhan Dahlan. Oleh sang kyai, dirinya ditugaskan mendirikan pesantren di Gandrungmangu, Cilacap.
Tapi, ia ingin pesantren yang didirikan bisa dihuni siapapun dari kalangan manapun. Tak peduli berasal dari kelangan baik-baik atau berandal asalkan ingin bertobat. Dasar itulah, yang belakangan dijadikan kurikulum belajar. Dia lantas mendekati anak jalanan, anak punk, preman, hingga pemabuk.
Sebanyak 17 orang, berhasil ia rangkul. Ketika itu, ia hendak mendirikan pesantren di atas tanah wakaf. Tapi, oleh si pemilik tanah, diprotes karena tak terima dengan para santri yang berasal dari pasar dan Stasiun Tua Gandrungmangu.
Rombongan santri dan Abah Soleh akhirnya diusir.
“Ya karena yang mondok itu para anak narkoba-is. Akhirnya yang punya tanah wakaf tidak cocok. Makanya tanah itu diambil kembali. Saya dianggap gerombolan pemabok. Makanya tanah itu diambil kembali. Saya harus pergi. Saya diusir dari tempat itu. Kemudian saya, menempel di rumah tingkat depan itu. Jadi karena anak-anak saya dulu pemabuk semua. Jadi banyak orang yang tidak terima. Padahal, niat saya hanya agar anak-anak ini menjadi baik. Menjadi pemimpin. Tapi wong, orang dipercaya itu kan tidak semudah yang dibayangkan. Butuh waktu,” ungkapnya.
Hingga pada tahun 2000, rombongan santri dan Abah Soleh pindah ke tanah yang dimiliki Mbah Sayad. Di tempat ini, mereka menumpang.
Namun karena tak nyaman terus menumpang, mereka bertekad memiliki tanah sendiri. Hanya saja terkendala dana. Sementara, seluruh santri pengangguran, bukan karena tak mau kerja, tapi tak ada seorang pun yang mau mempekerjakan mereka.
Dengan modal nekat, baju santri yang mereka kenakan diganti dengan kaos, celana jins belel. Beraksi lah mereka di jalanan; meminta sumbangan dari pelintas. Tujuannya untuk membeli tanah. Kata Abah Soleh, cara meminta sumbangan itu pun agak memaksa alias dipalak.
“Nekat, karena ingin punya tempat. Kembali ke jalan. Ke sebelah utara, jalan raya itu, kemudian dipasang drum. Taruh tengah jalan. Karena mereka bekas preman. Ya sudah, pakaian dicopot. Pakai lekton (kaos lengan pendek). Kan kelihatan semua tattonya. Setiap mobil yang lewat harus memberi. Harus memberi uang. Setelah itu, anak-anak ‘memalak’ selama setahun. Dapat tanah plus buat membangun aulia. Iya, dapat banyak itu,” ungkap Kyai Soleh.
Sepekan pertama, terkumpul Rp1,3 juta. Duit itu dipakai untuk membayar uang muka tanah seluas 30-an ubin yang disepakati seharga Rp21 juta.
Sepanjang 2000-2001, ada 17 santri dibantu beberapa pemuda setempat dan santri cilik meminta sedekah di pinggir jalan yang menghubungkan Sidareja dengan Kota Cilacap.
Dan itu, dilakukan setahun penuh hingga cukup untuk membeli tanah, sekaligus membangun kombong atau asrama merangkap ruang mengaji dan aula.
Penulis: Muhamad Ridlo/Sumber: Kantor Berita Radio