Politikus PKS Aboebakar Alhabsy: Kembalinya Rezim yang Totaliter
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboebakar Alhabsy memiliki tiga catatan tentang terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas.
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboebakar Alhabsy memiliki tiga catatan tentang terbitnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas.
Yang pertama, alasan pemerintah adalah adanya kekosongan hukum dan adanya kegentingan yang memaksa sehingga harus terbit Perpu tersebut.
"Sepertinya ini adalah alasan yang mengada-ngada, karena sejatinya tidak ada kekosongan hukum, lantaran ada UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas," ujarnya, Jumat (14/.7/2017).
Dijelaskan, Pasal 60 Dalam UU Ormas telah mengatur bagaimana mekanisme dan tahapan pembubaran Ormas. Sudah jelas dan detail, lanjut Aboebakar, prosedur yang diatur dalam UU Ormas.
Karenanya, syarat kekosongan hukum sebenarnya tidak terpenuhi. "Jangan sampai akhirnya publik melihat bahwa pemerintah bersemangat membubarkan HTI, namun tidak mau mengikuti mekanisme yang ada dalam UU Ormas," ujarnya.
"Lantas kemudian, menerbitkan Perpu untuk bypass aturan tersebut. Tentunya publik akan mempertanyakan, pemerintah macam apa yang kemudian menyikapi aturan seperti ini," katanya lagi.
Hal yang kedua lanjut Aboebakar, digunakannya asas contrarius actus dalam Perpu ini juga tidak tepat. Asas contrarius actus adalah, badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya berwenang membatalkan.
Menurutnya, sepertinya inilah jalur yang dipakai untuk membypass pembubaran HTI agar tidak melalui Pengadilan. Hal ini saya rasa tidak tepat, dan bisa menimbulkan kekacauan dalam tatanan bernegara.
"Bayangkan saja, apabila ini menjadi preseden, kemudian dengan mudahnya Kepala KUA akan dapat membatalkan buku nikah yang diterbitkannya, atau Kepala Imigrasi yang bisa juga membatalkan paspor yang diterbitkannya," kata Aboebakar.
Tentunya hal ini akan membuat kekacauan administrasi bernegara kita, jika diambil preseden dalam bidang lain," tambah Aboebakar.
Hal yang ketiga, hilangnya proses peradilan dalam pembubaran Ormas, merupakan salan satu indikasi kembalinya rezim yang totaliter.
Salah satu amanat reformasi adalah memposisikan civil society sebagai kekuatan pembangunan nasional. Oleh karenanya, ormas sebagai representasi dari civil society seharusnya, diberdayakan dan dilibatkan dalam pembangunan.
"Bilapun ada yang bermasalah, sudah diberikan jalur penanganan sesuai dengan UU Ormas," Aboebakar mengingatkan kembali.