CEO Pavel Durov Sebut Pengguna Aplikasi Telegram dari Indonesia Angkanya Jutaan
Chief Executive Officer (CEO) Telegram Pavel Durov menawarkan tiga solusi pada Kemenkominfo terkait konten radikalisme dan terorisme.
Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemblokiran aplikasi chatting Telegram oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika terus menjadi kontroversi.
Presiden Joko Widodo mengungkapkan pemerintah telah lama mengamati Telegram yang dipakai kelompok teroris.
Menurut Jokowi, pemblokiran itu terkait keamanan negara.
"Pemerintah kan sudah mengamati lama. Kita kan mementingkan keamanan, keamanan negara, keamanan masyarakat, oleh sebab itu keputusan itu dilakukan," kata Jokowi usai meresmikan Akademi Bela Negara (ABN) Partai Nasional Demokrat (NasDem) di Jalan Pancoran Timur II, Jakarta, Minggu (16/7/2017).
Jokowi menuturkan adanya ribuan akun Telegram yang dikategorikan mengganggu keamanan negara dan masyarakat.
Ia menjelaskan masih ada ribuan akun yang digunakan untuk membangun komunikasi antarnegara terkait terorisme.
Presiden Jokowi mengakui perlunya penyedia aplikasi sosial media bekerjasama dengan pemerintah. Ia mengatakan pemerintah tidak berencana memblokir aplikasi media sosial lainnya.
"Tawaran kerja sama seperti itu saya kira Kemenkominfo sudah menyampaikan, mungkin nggak sekali dua kali," kata Jokowi.
Dalam kesempatan terpisah Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyampaikan, jaringan teroris menggunakan Telegram untuk berkomunikasi dan berkoordinasi terkait teror di Jl MH Thamrin (14/1/2016), Kampung Melayu (24/5/2017), dan penusukan di Masjid Falatehan (30/6/2017).
"Kasus-kasus yang terjadi selama ini, mulai dari bom Thamrin, sampai bom Kampung Melayu, terakhir di Falatehan, ternyata komunikasi yang mereka gunakan Telegram," ujar Tito ketika ditemui di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Minggu.
Telegram menjadi favorit bagi jaringan teroris internasional. Aplikasi percakapan ini mampu menampung 10.000 anggota, kemudian mengirim pesan lebih cepat dibandingkan aplikasi serupa mana pun, serta dapat mengirim foto, video, dan dokumen berbagai jenis (doc, zip, mp3, dan sebagainya) sampai 1,5 GB.
"Artinya sulit dideteksi. Ini jadi problem dan jadi tempat saluran komunikasi paling favorit oleh kelompok teroris," ucap Tito.
Tito membenarkan pemblokiran itu berdasarkan masukan Polri, yang mengidentifikasi digunakannya Telegram oleh teroris.
"Nanti kita lihat apakah jaringan teror gunakan saluran komunikasi lain. Kita juga ingin lihat dampaknya. Saya kira ini akan terus dievaluasi," ucap Tito.