Kapolri: 17 Kasus Aksi Teror Terkait Aplikasi Telegram
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengungkapkan adanya 17 kasus terkait aplikasi Telegram.
Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengungkapkan adanya 17 kasus terkait aplikasi Telegram. Temuan tersebut berdasarkan Detasemen Khusus 88 Antiteror.
Sebanyak 17 kasus tersebut terjadi selama dua tahun terakhir yang diantaranya peristiwa Bom Thamrin. "Sudah tahu yang namanya telepon bisa disadap, HP dan SMS, sehingga akhirnya mereka bisa mencari saluran komunikasi yang aman buat mereka," kata Tito di Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/7/2017).
Selain itu, Tito juga menjelaskan adanya fenomena lone wolf atau teroris yang tidak terstruktur. Mereka bergerak secara sendiri menjadi radikal melalui penggunaan informasi teknologi. Tito mengungkapkan perubahan latihan anggota teroris.
"Latihan dulu dr Azahari bin husin mengajarkan murid-murid membuat bom langsung sekarang tidak. Langsung online, chat, nanti campur ini, campur ini, survei langsung. Nanti disahring nah telegram salah satu favorit mereka sekarang ini," kata Jenderal Bintang Empat itu.
Tito menuturkan teroris dapat membuat super grup melalui aplikasi Telegram. Grup tersebut bisa beranggotakan 10.000 anggota privat lalu masuk kelompok lain tanpa diketahui administrasinya. "Berbeda dengan WA group yang ada adminnya," kata Tito.
Tito menjelaskan aplikasi Telegram memiliki aplikasi end to end encription sehingga tidak bisa disadap. Kemudian terdapat akun tersembunyi sehingga nomor tidak diketahui.
"Tapi, dia bisa cukup dengan menggnakan user name, saling kontak chat to chat hanya dengan user jadi dia tidak ketahuan. sulit dilacak," kata Mantan Kapolda Metro Jaya itu.
Meskipun, Tito menuturkan teknologi tersebut terdapat sisi positif sehingga bermanfaat untuk pembicaraan rahasia yang dianggap privasi. Namun, sisi negatifnya bila dimanfaatkan ditangan yang salah sehinhha berbahaya. Sebab, kepolisian tidak dapat melacak kelompok tersebut.
"Nanti meledak dimana-mana, termasuk kasus kasuh yang di Masjid Falatehan Blok M kemudian yang Bandung, kasus yang menyerang Polda Sumut itu menggunakan komunikasi ini dan bahkan yang ngajarin cara membuat bom dan pembahan doktrin radikal yang nerima pun enggak tahu siapa dia," kata Tito.