Politisi Nasdem: Harusnya UU Pemilu Atur Kuota 30 Persen Perempuan Sampai ke Daerah
"Harusnya memang UU Pemilu itu komperhensif sampai ke daerah sehingga keterwakilan perempuan di partai politik merata sampai ke daerah," kata Irma.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politikus Nasdem Irma Suryani Chaniago secara pribadi berpendapat bahwa seharusnya UU Pemilu komprehensif mengatur keterwakilan perempuan di kepengurusan partai politik sampai ke daerah.
"Harusnya memang UU Pemilu itu komperhensif sampai ke daerah sehingga keterwakilan perempuan di partai politik merata sampai ke daerah," kata Irma ketika dikonfirmasi, Jumat (25/8/2017).
Irma ditanya soal gugatan atau judicial review PSI ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kuota 30 persen perempuan untuk pengurus partai politik yang hanya di level pusat tidak sampai ke daerah (provinsi, kabupaten/kota) seperti diatur dalam pasal 173 ayat (2) huruf E UU 7/2017 tentang Pemilu.
"Sebenarnya sedih juga kalau perempuan tidak diberikan kesempatan besar jadi pengurus parpol sampai ke tingkat daerah," ujar Irma.
Padahal, menuru dia, saat ini banyak perempuan yang memiliki kompetensi dan kualitas yang mumpuni untuk aktif dan terlibat di partai politik menjadi pengurus inti partai.
"Uji materi ke MK khusus untuk keterwakilan perempuan ini saya rasa bagus juga," ujar Irma.
Lalu kenapa UU Pemilu tentang keterwakilan perempuan ini bisa diloloskan DPR?
"Saya tidak tahu ya. Tidak ikut di Pansus Pemilu," kata anggota DPR ini.
Menurut dia, Nasdem tidak pernah khawatir kekurangan kader perempuan sampai ke daerah.
Sebab partai itu memiliki organisasi khusus berhimpun kaum perempuan yakni Garnita Malahayati Nasdem yang memiliki kemampuan dan struktur organisasi sampai ke daerah.
Sebelumnya diberitakan, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggugat UU Pemilu pada pasal 173 ayat 2 huruf E ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur keterwakilan perempuan.
Kuasa hukum PSI Dini Shanti Purwono mengatakan, syarat yang mewajibkan keterwakilan 30 persen perempuan hanya di kepengurusan pusat merupakan tindakan diskriminatif. Sebab, kans para ”srikandi” untuk terlibat aktif dalam kepengurusan di tingkat daerah menjadi terbatasi.