Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Presiden Jokowi Enggan Komentari Konflik Internal KPK

Presiden Joko Widodo enggan menanggapi kekisruhan yang tengah terjadi di internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Presiden Jokowi Enggan Komentari Konflik Internal KPK
jokowi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo enggan menanggapi kekisruhan yang tengah terjadi di internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi menegaskan bahwa KPK adalah sebuah lembaga independen.

"Saya tidak ingin mencampuri. Nanti ada yang ngomong intervensi. Wilayahnya DPR, wilayah legislatif. Itu haknya DPR. Pansus haknya DPR. Angket haknya DPR," ujar Presiden Jokowi, Jumat (1/9/2017).

Presiden berharap, semua pihak memahami pembagian kewenangan di antara institusi yang ada.

Terungkap sebelumnya, Dirdik KPK Aris Budiman di hadapan pansus hak angket mengisyaratkan adanya perseteruan di level penyidik dan pejabat struktur KPK.

Bahkan Aris Budiman yang hadir ke Pansus Angket tanpa restu pimpinan KPK itu berpendapat Novel Baswedan punya kuasa penuh di KPK.

Setelah membeberkan seluruh hal itu, Aris di hadapan publik meminta Pansus Angket DPR untuk menyelamatkan KPK.

Padahal sejak awal sikap KPK tegas menolak keberadaan Pansus Hak Angket bentukan DPR.

Berita Rekomendasi

Baca: Buwas: Seikhlasnya Saja Buat Anak, Oke Rp 64 Miliar dari Es Dawet


Kemarin, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta memastikan telah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman.

Aris melaporkan penyidik senior Novel Baswedan. Surat tersebut dikirimkan penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kamis, 31 Agustus lalu.

"Kejati DKI Jakarta, menerima SPDP nomor B/11995/VIII/2017/Datro tanggal 28 Agustus 2017, atas pelaporan Aris Budiman yang mengadukan telah terjadi pencemaran nama baik dan penghinaan melalui email yang dilakukan Novel Baswedan," ujar Kapuspenkum Kejati DKI Jakarta Nirwan Nawawi kepada Kompas.com.

Nirwan menambahkan, dalam SPDP tersebut penyidik menyertakan Pasal Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE, atau Pasal 310 atau 311 KUHP tentang dugaan tindak pidana pencemaran nama baik atau penghinaan atau fitnah melalui media elektronik.

"Menindaklanjuti SPDP tersebut, kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta akan menunjuk jaksa peneliti untuk mengikuti dan memantau perkembangan penyidikan," kata Nirwan.

Polisi sebelumnya telah meningkatkan kasus itu ke tahap penyidikan. Kendati demikian, status Novel dalam kasus tersebut masih sebatas saksi terlapor.

Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih angkat bicara mengenai laporan Direktur Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigjen Pol Aris Budiman terhadap Novel Baswedan.

"Kalau yang disampaikan itu benar adanya sangat mungkin siapapun orangnya kalau dalam jabatan sebagai Dirdik kemudian menerima e-mail seperti itu pasti akan menimbulkan masalah mulai dari ketersinggungan sampai tuntutan hukum," kata Yenti.

Brigjen Pol Aris Budiman merasa sangat dilecehkan oleh penyidik KPK Novel Baswedan.

Aris menjelaskan, penghinaan Novel terhadap dirinya dilakukan dalam surat elektronik atau email yang dikirimkan ke dirinya dan anggota KPK lainnya.

Dalam email tersebut, Novel menyebut Aris tidak mempunyai integritas sebagai Dirdik KPK.

Novel juga menyebut Aris sebagai Dirdik KPK terburuk sepanjang lembaga antirasuah itu berdiri.

"Sangat disayangkan dalam komunikasi di suatu kelembagaan formal dan di antara pejabat, pegawai sampai terjadi lontaran atau penyampaian apalagi dengan e-mail kata-kata seperti itu," ujar Yenti yang tak lain mantan Pansel KPK ini.

Baca: Bahagianya Siti Mashita Dapat Hantaran Ketupat dan Kue-kue dari Sang Buah Hati

Dosen hukum pidana Universitas Trisakti ini melihat tidak terjaganya sikap saling menghargai seseorang dalam jabatan-jabatan tersebut dalam dialog formal demi kepentingan lembaga.

Yenti melihat keanehan dan prihatin dengan kejadian tersebut.

Ia yakin institusi KPK mempunyai standar mekanisme dalam penyampaian sesuatu. Terlebih kali ini antara personal di internal, yakni yang satunya penyidik satunya Dirdik dan dua-duanya berasal dari Polri.

"Semestinya penghormatan dan pandangan hierarchi tetap harus dijaga demi kehormonisan dan keberhasilan semua program kelembagaan," tegasnya.

Terkait adanya ketidaksetujuan atau pandangan berbeda atas usulan program, Yenti menilai hal itu biasa dan dapat didialogkan dengan baik bukan dengan cara yang kontra produktif.

"Kita sangat membutuhkan KPK, tetapi harus profesional berintegritas dan menyelesaikan proses hukum atas korupsi dengan baik bukan harus disertai keadaan seperti yang bagi sebagian masyarakat seperti menunjukan adanya konflik internal yang sangat merugikan kinerja," katanya.

Yenti menegaskan KPK milik seluruh masyarakat yang peduli terhadap pemberantasan korupsi. Bukan milik kelompok atau sekumpulan orang saja. (tribun/mal/Fah/why/yat)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas