Mesin Sadap KPK Hanya untuk Satu Nomor
Mesin sadap telepon yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya bisa menyadap satu nomor telepon untuk jangka waktu 30 hari.
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Rachmat Hidayat
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Mesin sadap telepon yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya bisa menyadap satu nomor telepon untuk jangka waktu 30 hari.
Pada hari terakhir, secara otomatis nomor telepon yang disadap akan terhapus dan digantikan nomor baru yang perlu disadap.
Cara kerja mesin sadap telepon ini dijelaskan Deputi Bidang Informasi dan Data KPK, Hary Budiarto, di depan anggota DPR pada rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan KPK di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (12/9/2017) kemarin.
"Ada keterbatasan dari mesin, kami batasi 30 hari. Ketika 30 hari itu sudah terlampaui mesin otomatis akan cancel, nomor lain masuk, jadi seperti antrean, dari situ kami buat summary-nya," papar Hary.
Setelah KPK memaparkan jawabannya, Ketua Komisi III DPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyatakan, penjelasan tentang proses penyadapan membuat tenang banyak pihak. "Kalau ini berjalan benar, tenang kita," katanya.
Pertanyaan tentang proses penyadapan oleh KPK diajukan anggota Komisi III yang juga politisi Partai Demokrat, Benny K Harman. "Bagaimana kewenangan dan proses penyadapan KPK selama ini?" tanya Benny pada RDP yang merupakan lanjutan dari RDP sehari sebelumnya.
Ketua KPK, Agus Raharjo, mempersilakan Deputi Bidang Informasi dan Data KPK, Hary Budiarto untuk memaparkan proses penyadapan di KPK.
Menurut Hary, ada tiga kedeputian di KPK yang
terlibat dalam penyadapan yaitu Deputi Penindakan, Deputi Informasi dan Data (Inda), dan Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM).
Hary menambahkan, inisiatif penyadapan datang Deputi Penindakan yang mengirimkan nomor telepon yang perlu disadap.
"Kegiatan penyadapan ini dilakukan tiga kedeputian, Deputi Penindakan sebagai user yang mengirim nomor dan menerima hasilnya, Deputi Inda yang melakukan penyadapan, kemudian PIPM yang melakukan audit. Jadi meskipun Kominfo tidak melakukan audit, kami melakukan audit setiap tiga bulan sekali," jawab Hary.
Deputi Penindakan tidak bisa sembarangan mengirim nomor telepon ke Deputi Inda. Hary juga menegaskan, Deputi Inda tidak akan melakukan penyadapan apabila Deputi Penindakan tidak memberikan surat perintah penyadapan (sprindap) yang telah ditandatangani lima pimpinan KPK.
Benny K Harman juga sempat menanyakan kewenangan KPK dalam hal penyadapan. Terlebih ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menginginkan penyadapan diatur undang-undang. Menurut Benny, setelah adanya putusan MK itu, mestinya ada revisi UU KPK.
"Bagaimana kewenangan penyadapan dilakukan KPK saat ini? Apakaah ada SOP?" tanya Benny. "Kedua, apakah bisa penggunaan penyadapan bisa diatur hanya dengan SOP?" tambahnya.
Menjawab pertanyaan itu, Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif menyatakan, selama ini KPK melakukan penyadapan sesuai undang-undang yang ada.
"Waktu itu ada judicial review dan judicial review itu mengatakan tidak menghilangkan kewenangan penyadapan, tapi menegaskan pada pemerintah dan DPR untuk membuat UU tentang penyadapan. Tapi saat ini belum ada UU itu sehingga KPK tetap berjalan," jawab Syarif.
Pada kesempatan lain, Benny K Harman menyatakan, pihaknya banyak informasi bahwa data tentang dugaan korupsi yang diterima di bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas), digunakan untuk memeras pejabat di daerah.
"Bagaimana KPK menjaga akuntabilitas di Pengaduan Masyarakat KPK karena berkaitan dengan dokumen pengaduan yang disampaikan masyarakat," tanya Benny.
Ia menambahkan, ada tudingan bahwa KPK tebang pilih memproses aduan. "Dari 7.000 laporan yang masuk, mengapa hanya sekian yang diproses?" kata Benny.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang menjawab pertanyaan tersebut menjelaskan, pihaknya tidak bisa langsung memproses laporan masyarakat. KPK harus melakukan penelitian dan pengumpulan keterangan.
Setelah itu, KPK melakukan gelar perkara untuk menentukan apakah kasus itu layak naik ke tahap penyelidikan. Gelar perkara melibatkan Direktur Pengaduan Masyarakat, penyelidik, deputi, dan para pimpinan KPK.
"Dari 7.000 kasus ke 3.000 tidak gampang. Seolah-olah ada framing-framing yang seolah-olah pilih kasih," kata Saut dalam nada tinggi.
Namun, Benny tidak puas atas jawaban Saut karena dinilai tidak sesuai pertanyaannya. Benny juga meminta Saut menerangkan kembali tapi tidak dalam nada tinggi. "Gini... gini... jangan emosi," kata Benny.
"Orang Batak memang begini. Saya tadi udah bilang (terkait Dumas) begitu, tapi bapaknya nggak denger," kata Saut.
Setelah itu, Benny menyebut bahwa pimpinan KPK sebenarnya tahu banyak soal laporan gadungan menggunakan data Dumas. Menurutnya, bagian Dumas di KPK bukan kumpulan 'malaikat' karena ada oknum yang menjual dokumen untuk kepentingan tertentu sehingga institusi itu dituntut meningkatkan pengawasan.
"Poin kita sudah dapat bahwa Dumas bukan kumpulan 'malaikat' karena ada 'setan' yang menjual dokumen," kata Benny. (fap/aji)