KPK Periksa Kepala Piutang Negara Kanwil Jateng dan DIY
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BL
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengusut kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Hari ini, Rabu (20/9/2017), penyidik menjadwalkan pemeriksaan pada satu saksi untuk tersangka di kasus ini Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT), mantan kepala badan penyehatan perbankan nasional.
"Ada satu saksi yang hari ini kami periksa untuk tersangka SAT, yaitu I Ketut Puja, Kepala Bidang Piutang Negara Kanwil DJKN Jateng dan DIY," ungkap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
Dalam kasus ini, saksi terakhir yang diperiksa penyidik ialah Artalyta Suryani alias Ayin (wiraswasta) yang memenuhi penjadwalan ulang KPK pada Rabu (13/9/2017) kemarin.
Usai pemeriksaan Ayin, dia enggan berkomentar soal materi pemeriksaan, dia mengaku sudah menjelaskan semua yang dia ketahui pada penyidik.
Baca: Presiden Jokowi Batasi Foto-foto Aneh di Medsos, Khawatir Dibilang Narsis
Selain Ayin, dalam kasus ini penyidik sudah banyak memeriksa saksi seperti mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri Kwik Kian Gie, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti.
Kemudian mantan Menteri BUMN Laksamana Sukardi, mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto hingga mantan Kepala BPPN Ary Suta..
Sejauh ini, KPK baru menetapkan satu tersangka, Syafruddin yang diduga merugikan negara hingga Rp3,7 triliun atas tindakannya menerbitkan SKL BLBI untuk Sjamsul.
Sjamsul Nursalim merupakan pemilik Band Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mendapat suntikan dana BLBI saat krisis melanda Indonesia pada 1997-1998.
Hingga kini, penyidik KPK masih belum bisa memeriksa Sjamsul Nursalim dan istrinya yang sejak beberapa bulan lalu menetap di Singapura, padahal dua kali surat panggilan sudah dilayangkan secara patut.