Effendi Ghazali: Penetapan Presidential Threshold Pemilu 2019 Tindakan Manipulatif
Karena, warga negara yang memiliki hak politiknya tidak pernah mendapatkan pemberitahuan bahwa suaranya nanti akan digunakan sebagai ambang batas
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Komunikasi Politik Effendi Ghazali menilai bahwa penetapan presidential threshold atau ambang batas calon presiden 2019 dengan menggunakan suara pemilihan legislatif 2014 bisa dikatakan tindakan manipulasi.
Karena, warga negara yang memiliki hak politiknya tidak pernah mendapatkan pemberitahuan bahwa suaranya nanti akan digunakan sebagai ambang batas pada Pemilu yang sifatnya serentak.
"Tanpa diberitahukan, intinya dalam konteks konstitusi kita, bahkan harus disosialisasikan UU Pemilu itu dinilai tingkat pengetahuan pemilihnya berapa persen. Nah, sekarang tiba-tiba tanpa dikasih tahu digunakan untuk (kepentingan ) yang lain itu manipulatif, kan saat sosialisasi 2014 tidak pernah dikasih tahu," kata Pakar Komunikasi Politik Effendi Ghazali yang juga selaku pemohon pengujian materil UU Pemilu soal ambang batas calon presiden di Mahkamah Konstitusi (MK),Jakarta, Jumat(6/10/2017).
Ia mengingatkan bahwa Indonesia pernah mempunyai pengalaman tidak baik, dimana ketika tahun 1963 hal yang saat ini dilakukan pernah diterapkan lebih dulu pada era kepemimpinan Presiden Soekarno.
"Kita sudah punya pengalaman loh, di tahun 1963, pasca Pemilu kemudian digunakan saja oleh kekuasaan untuk menjadi presiden seumur hidup saja, dan kalau ini digunakan begitu saja hasil legislatif (2014,red) ini, (jangan sampai ada pikiran) kita tidak perlu Pemilu presiden, gunakan aja hasil Pilegnya," ujar dia.
Pun demikian, sambung dia, ketika nantinya Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat bawah ketentuan itu open legal policy, tetap tidak bisa diterapkan pada 2019 melainkan 2024.
Sebab, praktik ketatanegaraannya sebelum Pemilu serentak dengan sesudah Pemilu serentak harus berbeda, dan itu sangat jelas disebutkan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945 itu menjelaskan sangat baik.
Akan tetapi, open legal policy (kebijakan hukum terbuka) maka mahkamah harus menjawab boleh tidak digunakan sekarang , meski pada Pemilu 2014 tidak pernah diberitahu bahwa suara ini akan digunakan untuk ambang batas 2019.
Untuk diketahui, pasal a quo berbunyi bahwa 'Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
"Jadi, bila kemudian suara di 2014 digunakan ke PT 2019 tidak boleh, dan kemudian nanti dikatakan mahkamah berpendapat bahwa ini adalah open legal policy, hanya boleh dilaksanakan pada 2024, dengan dilakukan pemberitahuan terhadap rakyat, 'hai rakyat kalau kamu menggunakan suara Pileg sekarang (2019) maka akan digunakan ya untuk PT 2024 loh," pungkasnya.
Sebelumnya, sejumlah pihak sudah lebih dahulu mengajukan gugatan terhadap pasal tersebut. Diantaranya, Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra, sejumlah advokat yang tergabung dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) dan Partai Idaman.
Effendi Gazali sendiri terdaftar dalam perkara 59/PUU-XV/2017.Selain itu, ada juga mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI (KPU), Hadar Nafis Gumay bersama dua lembaga sosial masyarakat, yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) juga mengajukan gugatan yang sama.