Alex Palit Luncurkan Buku Rock Humanisme 'Godbless and You'
Budayawan dan Pengamat Musik Alex Palit, luncurkan buku Rock Humanisme berjudul 'Godbless and You' yang diterbitkan PT Elex Media Komputindo
Penulis: FX Ismanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Budayawan dan Pengamat Musik Alex Palit, luncurkan buku Rock Humanisme berjudul 'Godbless and You' yang diterbitkan PT Elex Media Komputindo - Kompas Gramedia, Jakarta. Buku 'Godbless and You' ini banyak mengupas di antaranya tentang humanisme lirik lagu-lagu God Bless masih faktual dan kontekstual merepresentasikan realitas sosial yang sedang kita hadapi saat ini.
"Dalam sebuah obrolan di kantin Kompas – Gramedia, Palmerah Jakarta, dengan Tribunnews.com, bahwa God Bless adalah satu-satunya grup band rock yang punya komitmen dan konsistensi mengangkat lagu-lagu bertemakan humanisme, " jelas Alex Palit pengoleksi bambu-bambu unik, Senin (9/10/2017) dalam obrolannya.
Lalu lanjutnya, bahkan kalau disimak banyak di antara tema humanisme lirik lagu-lagu God Bless masih faktual dan kontekstual merepresentasikan realitas sosial yang sedang kita hadapi saat ini.
Seperti pada lagu “Anak Adam”, ciptaan Donny Fattah. Sebagaimana pada cuplikan lirik lagu tersebut; Kau dan aku, kita semua anak Adam / Datang dari satu rahim / Namun kini kita saling mendendam / Ini semua karena faham.
Bagaimana kita saksikan hanya lantaran beda pendapat, beda paham dan beda pilihan politik, kita akhirnya saling hujat, saling fitnah, bahkan sampai menjurus ke arah persekusi. Dan kita pun terpolarisasi olehnya.
Kita pun dibuat tersentak oleh terbongkarnya jaringan sindikat penebar ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoax) di media sosial dengan menempatkan isu atau sentimen bernada dan berbau SARA. Di mana jaringan sindikat penebar ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong yang bekerja secara terorganisir ini sudah melakukan aksinya sejak November 2015.
Mirisnya lagi, jaringan sindikat ini melakukan aksinya dengan mengunggah dan menebarkan ujaran-ujaran kebencian dan berita bohong bernada SARA ini disinyalir bergerak atas dasar order (pesanan).
Sementara pada lagu “Raksasa” ciptaan Teddy S, Rudy Gagola dan Jockie Soeryoprayogo, mencoba mengkritisi pada elite penguasa yang menghalalkan segala cara demi kepentingan keserakahan ambisinya yang dipersonifikasikan sebagai sosok raksasa.
Setidaknya dari apa yang tersirat di lagu “Raksasa” masih begitu kontekstual dengan realitas apa yang terjadi kalau kita melongok panggung politik kita saat ini yang dipenuhi personifikasi raksasa. Di mana saat ini publik disuguhi tontonan panggung politik dipenuhi raut wajah dan kata dusta di antara senyum manis dan janji-janji bohong, tipu sana tipu sini, sebar fitnah, dan tak peduli singkirkan semua orang yang menghalang dan jadi korban.
Protesnya musik adalah protes budaya. Di sini God Bless tidak bermaksud menuding atas nama seseorang yang ia simbolisasikan dan dipersonifikasikan sebagai Raksasa, tapi setidaknya lewat nyanyian ini God Bless ingin mengingatkan kepada kita untuk menimbang di balik apa yang tersirat dari lagu “Raksasa”. Melalui bahasa musik, God Bless menyuarakan kritik sosial atas prilaku politikus Raksasa yang kian menggejala saat ini.
Bahwa keindahan musik bukan hanya terletak pada permainan harmonisasi nada, melodi, dan lirik, melainkan pada dialektika bunyi. Pada dialektika bunyi inilah artikulasi sebuah lagu memancarkan makna dan auranya.
Dalam wacana seni realisme, keindahan bunyi pada bahasa musik tidak sekedar bermakna ungkapan simbolik, tetapi juga merepresentasikan sebuah narasi atas realitas sosial yang biasanya selalu dikaitkan dengan pokok-pokok persoalan humanisme (kemanusiaan).
Musik sebagai media komunikasi tidak ada bedanya dengan bahasa, yaitu suatu artikulasi bunyi yang bermakna lebih dari sekadar instrumentasi bunyi yang di dalamnya dapat mengungkapkan pesan-pesan, gagasan-gagasan, atau bahkan berupa pernyataan sikap yang di dalamnya dapat bersifat kemanusiaan, sosial, politik, dan budaya.
Untuk memahami sebuah karya musik secara total memang diperlukan sebuah wacana apresiatif, karena musik itu sendiri merupakan sebuah ungkapan ekspresi dari perasaan atau pikiran seniman yang di dalamnya mengandung nilai estetika, spiritual, etika, moralitas, atas penggambaran sendi-sendi bangunan realitas sosial atau nilai-nilai sosial yang hidup di tengah masyarakat.
Melalui ungkapan simbolisasi lirik, syair atau bait-bait yang terkandung di dalam lagu – atau bahkan nada-nada itu sendiri – pencipta lagu mengutarakan ragam pesan yang pada akhirnya akan diterima, dinikmati, dipahami, dihayati, dan dimaknai oleh penikmat atau pendengarnya.
Guna mendapatkan pemahaman tentang apa itu musik (lagu) tidak cukup hanya dinikmati sebagai sekadar hiburan semata, sebab musik itu sendiri adalah bahasa ekspresi yang memang harus diterjemahkan.
Tinggal bagaimana mengintegrasikan musik sebagai sebuah karya seni dalam kegiatan besar manusia yang bernama kebudayaan dan bidang kehidupan lainnya.
Buku “God Bless and You: Rock Humanisme” ini menyajikan tinjauan filosofis keberpihakan bermusik grup band rock legendaris God Bless ini pada persoalan kemanusiaan, sebagian tak terpisahkan dari komitmen bermusik grup band rock yang sudah malang melintang lebih dari 40 tahun di jagad rock Indonesia, yang hingga kini masih eksis.
Komitmen dan konsistensi mengangkat topik humanisme, mulai dari isu kemanusiaan pada umumnya sampai ke ragam kritik sosialnya menjadi tema sentral lagu-lagu God Bless di tiap album yang dirilisnya. Dan kalau kita cermati lagu-lagu yang disuarakan God Bless masih faktual dan kontekstual merepresentasikan realitas sosial yang sedang kita hadapi saat ini.
Bidata:
Alex Palit, pernah bekerja sebagai wartawan di Persda Kompas – Gramedia, sekarang aktif sebagai citizen jurnalis di komunitas“Ngopi Dulu Biar Tidak Salah Paham”, penulis buku “God Bless and You: Rock Humanisme”.