Apa Dampak Positif & Negatif Mahkamah Konstitusi Hapus Presidential Threshold? Ini Penjelasan Pakar
Dari sisi positif, Feri menilai kebijakan penghapusan presidential threshold akan membuka ruang persaingan sehat dalam pemilihan presiden.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Feri Amsari mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sejalan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 terkait pencalonan presiden.
"Putusan ini sudah sangat sesuai karena memang tidak ada ambang batas pencalonan presiden di Undang-Undang Dasar," kata Feri saat dihubungi, Jumat (3/1/2025).
Baca juga: Presidential Threshold 20 Persen Dihapus, PAN Sebut MK Buat Keputusan Populis
Menurut Feri, penghapusan presidential threshold memiliki dua sisi.
Dari sisi positif, kebijakan ini akan membuka ruang persaingan sehat dalam pemilihan presiden.
Partai politik, kata dia, didorong untuk mengusung figur yang kompeten dan memiliki daya tarik di mata publik.
"Calon presiden harus betul-betul memenuhi janjinya kepada publik, orang-orang yang betul-betul punya track record yang baik karena merekalah yang akan disukai oleh pemilih dan akan memberikan efek penggelembungan suara yang baik dalam Pemilu," ujar Feri.
Namun, dia juga mengingatkan potensi dampak negatif dari keputusan ini.
Tanpa ambang batas, peluang bagi politik dinasti dan praktik kecurangan tetap ada.
"Oleh karena itu, putusan MK ini tentu menjadi pintu yang sangat baik bagi demokrasi konstitusional kita di masa depan, tetapi publik harus sadar bahwa untuk menjaganya butuh partisipasi publik bersama untuk melindungi apa yang sudah dilakukan oleh MK," tegas Feri.
Baca juga: Pemerintah Hormati Putusan MK Hapus Presidential Treshold, Menkum: Bersifat Final dan Mengikat
Keputusan ini merupakan respons atas permohonan perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Dalam amar putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal tersebut sebelumnya mensyaratkan partai politik atau gabungan partai memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Menurut MK, ketentuan ini membatasi hak politik partai kecil dan mengurangi pilihan bagi pemilih.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.