Radikalisme Dinilai Sebagai Tantangan Kekinian Bukan Komunisme
Radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa. Proses itu dilakukan tertutup dan berpotensi memecah bangsa.
Editor: Hasanudin Aco
Di pihak lain, kata Sumaryoto, Pancasila telah kehilangan nilai-nilai praksisnya.
Jangankan diamalkan, sekadar melafalkan teks Pancasila saja banyak di antara kita yang tidak hafal. Kalau pun ada yang hafal, sulit untuk mengamalkan nilai-nilainya.
"Akibatnya, bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi dan dekadensi moral,” cetus pria low profile ini.
Krisis multidimensi dan dekadensi moral, lanjut Sumaryoto, menumbuhsuburkan penyalahgunaan narkotika, korupsi, serta hoax (berita bohong) dan hate speech (ujaran kebencian) di era teknologi informasi dan media sosial (medsos) dewasa ini.
"Pun, proxy war atau perang dengan meminjam tangan pihak ketiga, tidak melalui kekuatan militer sebagaimana lazimnya perang konvensional, tetapi melalui berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk narkotika, pornografi dan hoax," ujar Sumaryoto.
"Pendek kata, selain komunisme dan radikalisme, tantangan yang tak kalah berat bagi Pancasila dan NKRI sesungguhnya adalah penyalahgunaan narkotika, korupsi, hoax, hate speech, dan proxy war,” papar dosen STIE Pelita Bangsa yang berlatar pengusaha ini.
Untuk mengatasi semua tantangan itu dan demi menyelamatkan NKRI, Sumaryoto menyarankan bangsa ini kembali ke Pancasila, bukan sekadar hafal teksnya, melainkan juga mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.
“Kalau mau NKRI ini tetap kokoh, mari amalkan Pancasila. Dengan Pancasila, cita-cita keadilan sosial bagi suluruh rakyat Indonesia akan terwujud. Kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial akan sirna, dan dengan itu komunisme dan radikalisme tak akan tumbuh,” tandasnya.