Surat DPR untuk KPK Terkait Pemanggilan Novanto Dinilai Salah Kaprah
Oleh karena itu, kata Bivitri, dua peraturan tersebut tidak bisa dijadikan dasar Novanto menolak panggilan pemeriksaan KPK.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Jentera Bivitri Susanti mengungkap adanya kesalahan membaca peraturan perundang-undangan sebagai dasar surat dari Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR ke Komisi Pemberantasan Korupsi terkait pemanggilan Ketua DPR Setya Novanto.
Dalam surat tersebut, DPR menyebut pemanggilan Setya Novanto harus seizin presiden.
DPR menyertakan ketentuan Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014 tanggal 22 September 2015.
Pasal 245 Ayat (1) UU MD3 menyebutkan, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Baca: Penjelasan Plt Sekjen DPR yang Surati KPK Minta Periksa Setya Novanto Harus Seizin Presiden
Sementara itu, dalam putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014, pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Bivitri menjelaskan, dua ketentuan tersebut tidak relevan dijadikan alasan Novanto karena dia dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi, bukan sebagai anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
"Sepertinya Sekjen DPR kurang cermat membaca Pasal 245 Ayat 1 itu karena alasannya berbeda. Pasal 245 dan Putusan MK yang dijadikan acuan Setjen itu adalah apabila anggota DPR dipanggil untuk tujuan penyidikan," ujar Bivitri saat dihubungi, Senin (6/11/2017).
Oleh karena itu, kata Bivitri, dua peraturan tersebut tidak bisa dijadikan dasar Novanto menolak panggilan pemeriksaan KPK.
Oleh sebab itu, KPK tidak memerlukan izin Presiden untuk memeriksa Novanto.
"KPK tidak memerlukan izin Presiden untuk memeriksa Novanto sebab dua aturan hukum itu tidak bisa dijadikan dasar," kata Bivitri.
Peraturan perundang-undangan itu diperkuat dengan Pasal 245 Ayat (3) huruf c UU MD3 yang menyebut ketentuan pada Ayat (1) tidak berlaku terhadap anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana khusus.
"Jadi, kalau SN dipanggil untuk penyidikan (sebagai tersangka), pasal itu bisa berlaku. Tapi tetap saja, karena ini tipikor yang masuk kategori pidana khusus, tetap tidak applicable," ucapnya.
Penulis: Kristian Erdianto
Berita ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Salah Kaprah Surat DPR Untuk KPK Terkait Pemanggilan Novanto