Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pengangguran di Indonesia Tinggi Karena Lulusan Perguruan Tinggi Terlalu 'Milih' Pekerjaan

Bambang mencontohkan, banyak lulusan sarjana tidak mau melaksanakan pekerjaan yang setara dengan SMA atau SMK.

Editor: Ravianto
zoom-in Pengangguran di Indonesia Tinggi Karena Lulusan Perguruan Tinggi Terlalu 'Milih' Pekerjaan
dok. Kemnaker
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Bambang Satrio Lelono. 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Cipta Permana

TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mencatat, angka pengangguran untuk tingkat pendidikan menengah ke atas (sarjana) cukup tinggi.

Selain itu jumlah kompetensi tenaga kerja berusia produktif sebesar 131,5 juta orang, dengan 79 juta orang atau kurang lebih 60 persen berpendidikan hanya di tingkat SMP.

Penyebabnya, tidak jarang lulusan perguruan tinggi yang cenderung terlalu banyak memilih pekerjaan karena menganggap memiliki kompetensi lebih tinggi ketimbang lulusan SMA atau SMK.

Hal tersebut diungkapkan oleh Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kerja, Kemanker RI, Bambang Satrio Lelono.

Menurut Bambang, dalam satu tahun lulusan sarjana secara nasional mencapai 750 ribu - 800 ribu orang.

Akan tetapi, saat masuk dunia kerja, lulusan sarjana banyak memilih pekerjaan, sehingga seharusnya setelah lulus langsung bekerja, kenyataanya tidak.

Berita Rekomendasi

"Jika dilihat secara nasional angka pengangguran mencapai 7 juta jiwa atau 5,33 persen. Tapi angka itu merupakan pengangguran terbuka artinya penggangguran yang sama sekali tidak bekerja," ujar Bambang usai melakukan Penandatanganan MoU antara Kemenaker RI, PT Tanjung Enim Lestari, dan Pemkab Muara Enim di BBPLK Bandung, Jalan Gatot Subroto, Kota Bandung, Rabu (8/11/2017).

Bambang mencontohkan, banyak lulusan sarjana tidak mau melaksanakan pekerjaan yang setara dengan SMA atau SMK.

Mereka menganggap memiliki kompetensi lebih tinggi sehingga harus mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya.

"Tapi kan kenyataanya tidak demikian. Sulit mencari pekerjaan yang sesuai, mau bekerja di bawah kompetensi sarjana, kan tidak mau, akhirnya jadilah pengangguran," ucapnya.

Bambang meminta, setiap lulusan angkatan kerja baik itu sarjana atau SMA maupun SMK untuk tidak banyak memilih pekerjaan, karena setiap tahun Indonesia menghasilkan kurang lebih dua juta angkatan tenaga kerja.

Maka, jika ingin menemukan pekerjaan sesuai dengan bidang keilmuan akademis yang dipelajari itu perlu proses.

Selain itu, laniut dia, Kementerian Ketenagakerjaan sudah banyak membuat program pelatihan, salah satunya  pemagangan.

Misalnya siswa SMK magang di salah satu industri dan ingin menjadi operator mesin, maka saat magang pun harus menjadi operator mesin. Demikian juga jika ingin bekerja di jenis pekerjaan lainnya.

"Proses pemagangan seperti itu yang benar, tidak asal, hanya mengikuti  tugas pemagangan saja, sehingga ketika selesai magang siswa atau mahasiswa sudah sesuai dengan kompetensi magangnya," katanya.

Melihat fenomena tersebut maka pemerintah perlu mengambil peran dalam peningkatan kualitas kompetensi SDM.

Tidak hanya di tingkat pemerintah pusat, tapi juga tingkat pemerintah provinsi dan kota/kabupaten, yang dalam hal ini perlu di sinergikan dengan perusahaan-perusahaan yang ada.

Bambang menjelaskan, di negara-negara maju, seperti Jerman kompetensi SDM paling besar disumbangkan oleh pihak perusahaan swasta dengan besaran 75%, sedangkan peran pemerintah hanya berkontribusi sebesar 15%.

Berbeda dengan di Indonesian yang mesih membudayakan sistem bajak membajak tenaga terampil antara satu perusahan dengan perusahaan lainnya.

"Di Jerman sudah menerapkan program dual system dalam mencetak tenaga kerja berkualitas yang langsung dapat link and match, dimana 30% belajar kompetensi murni di sekolah, dan 70% pemagangan dan pemberian pelatihan di industri-industri besar," ujarnya.

Selain itu, terdapat beberapa faktor yang sering dihadapi di Indonesia saat ini adalah terbenturnya kulaitas SDM dengan dunia kerja.

Pertama, yaitu miss match atau ilmu yang dipelajari selalu berbeda dengan kebutuhan dunia kerja.

Kedua, under qualified atau lulusan sarjana tapi kemampuan tidak menunjukan sarjananya sehingga pekerjaan yang didapat berada di level bawah. Yang jika dirata-ratakan berjumlah sekitar 37%.

"Kan banyak lulusan sarjana tapi bekerja level SMA atau SMK. Tentunya ini harus dibenahi dari sistem pendidikan nasional secara menyeluruh dan perlu didukung dari berbagai institusi serta lembaga untuk bersama-sama mencari solusi," ucap Bambang.

Bambang menyebut, pihaknya pun terus berbenah dalam hal pemberian pelatihan kerja atau penyediaan fasilitas disetiap balai latihan kerja disetiap daerah untuk mengembangkan SDM dan membantu ekonomi secara nasional.

"Ini tugas bersama, bukan Kementerian Ketenagakerjaan atau Kemendikbud atau lembaga lainnya. Bagiamana menyelesaikan ini untuk mendukung program-program pemerintah," katanya.

Oleh karena itu, untuk menekan tingginya jumlah pengangguran setiap tahun, di Tahun 2018 pihaknya memiliki program untuk melakukan pelatihan dengan melibatkan perusahaan-perusahaan di 74 ribu desa se Indonesia melalui sistem padat karya melalui dana desa.

Karena, lanjut Bambang dalam dana desa itu terdapat anggaran untuk capacity building yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan SDM. Sehingga diharapkan minimal setiap desa bisa mempekerjakan sekitar 200 orang setiap tahun.

"Kalau saja dari 200 orang kita latih 10% dari setiap desa yaitu 20 orang tenaga kerja dengan bantuan dana desa yang ada, dan bukan melalui dana APBD atau APBN, maka kita dapat menghasilkan 1,5 juta tenaga kerja baru setiap tahunnya," jelas Bambang.

Sumber: Tribun Jabar
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas