Putri Jokowi Menikah pada Hari 'Luhur Sumur Sinaba', Apa Artinya?
Rangkaian acara pernikahan Kahiyang dan Bobby dimulai Selasa (07/11) dengan adat Jawa melalui pemasangan blaketepe dan siraman.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernikahan putri Presiden Joko Widodo Kahiyang Ayu dengan Bobby Nasution akan dilangsungkan pada hari 'luhur sumur sinaba' yang artinya kemuliaan, kata seorang budayawan Jawa.
Akad nikah Kayiyang dan Bobby akan dilangsungkan di Solo pada Rabu (08/11/2017) Pahing atau 19 Safar, tanggal yang dipilih berdasarkan perhitungan Jawa dan jatuh pada hari luhur atau mulia.
Begitu kata Ronggojati Sugiyatno, budayawan yang tinggal di Solo,
Sugiyatno, yang kenal baik dengan Joko Widodo sejak akhir 1980-an menambahkan dalam perhitungan Jawa yang paling penting ditentukan adalah tanggal dan jam akad nikah,yang dihitung berdasarkan weton atau hari lahir pengantin pria dan perempuan.
Rangkaian acara pernikahan Kahiyang dan Bobby dimulai, Selasa (07/11/2017), dengan adat Jawa melalui pemasangan blaketepe dan siraman.
Baca: Malam Pertama Kahiyang, Ternyata Ini yang Perlu Disiapkan
Melalui akun Facebook-nya, Presiden Joko Widodo menulis, "Pagi ini saya memulai prosesi pernikahan anak saya Kahiyang Ayu, dengan pemasangan bleketepe. Bleketepe adalah anyaman daun pohon kelapa yang masih hijau."
"Selain sebagai peneduh, filosofi pemasangan bleketepe adalah orangtua mengajak mempelai menyucikan diri dari kotoran yang melekat pada jiwa dan raga. Pemasangan bleketepe diiringi pemasangan tuwuhan dengan pohon pisang raja yang sudah masak. Harapannya agar pengantin kelak mendapat kemuliaan. Mohon doa restu," tulis Jokowi dalam unggahan dengan komentar sekitar 19.000 sebagian besar mengucapkan selamat.
Sugiyatno mengatakan selain memiliki arti mulia, hari pernikahan Kahiyang Ayu juga mengandung arti sumur sinaba.
"Sumur adalah mata air dan sinaba didatangi, mata air yang selalu didatangi, itu artinya kan kemuliaan. Ibaratnya mata air yang selalu didatangi. Tiap hari berganti setelah luhur, ganti lagi menjadi dandang ngelak, sampai satria wirang, satria wibawa," kata Sugiyatno kepada BBC Indonesia.
Baca: Sunardi Tak Pernah Menyangka Ditelepon Langsung oleh Presiden Jokowi
Satu pekan terdiri dari tujuh hari dengan putaran lima hari pasaran, Pahing Pon, Wage, Kliwon dan Legi.
Penanggalan Jawa digunakan mulai Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahan, dengan memadukan penanggalan Islam, sistem penanggalan Hindu dan juga penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.
Inilah tiga hal yang menurut Sugiyatno penting diperhitungkan berdasarkan penanggalan dan kepercayaan Jawa.
Ikrar paling sakral
"Ijab adalah yang paling sakral, hanya beberapa detik, (pengantin pria mengucapkan) 'aku terima nikahnya... Inilah yang dicari si laki-laki mengucapkan ikrar pada jam tertentu," kata Sugiyatno.
"Calon pengantin laki dan perempuan dilihat tanggal lahirnya dan dicari (tanggal) akad nikahnya jam berapa....Diminta jam sekian harus siap (selesai) jam sekian."
"Ada tenggang waktu misalnya dari jam sembilan sekian menit sampai jam 11 sekian menit. Waktu dua jam bagus untuk ikrar akad nikah karena diharapkan seorang manusia ikrar kepada Tuhannya untuk akad nikahnya," tambahnya.
"Jadi dalam pernikahan ada pemandu yang mengarahkan menit-menit pernikahan."
Akad nikah menghadap ke barat.
"Karena kehidupan dari timur ke barat, matahari terbit dari timur dan terbenam di barat, maka agama apapun juga kalau orang Jawa saat akad nikah menghadap ke barat," kata Sugiyatno.
Arah datang pengantin pria dari selatan.
"Sebaiknya datang dari selatan ke utara, maka (untuk calon suami Kayihang) dicari hotel di selatan rumah pengantin perempuan."
"Kalau datangnya keliru kan jadi satrio wirang, laki laki yang memalukan atau tak bisa bertanggung jawab."
Bila mempelai pria rumahnya di utara juga misalnya, maka rombongan harus berputar terlebih dahulu ke selatan atau meminjam rumah kerabat sebagai tempat kerabat.
Sugiyatno juga mengatakan waktu berhubungan sebagai suami istri juga ada panduannya dalam budaya Jawa.
"Waktu kumpul (berhubungan seks) dengan istri, dihindari pada hari tertentu karena berakibat anaknya akan gini-gini, ini ada panduannya dan ini diyakini oleh orang Jawa."
Budayawan Jawa ini mengatakan banyak sekali contoh yang berujung buruk bagi yang meyakini perhitungan lewat kalender ratusan tahun ini.