Panggil Mantan KSAU, Puspom TNI Harus Penuhi Syarat Ini
Klien kami belum memenuhi panggilan karena surat panggilan tersebut tidak sesuai dengan hukum
Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Teguh Samudera, salah seorang kuasa hukum mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal purnawirawan Agus Supriatna, membantah bahwa kliennya tidak mau datang memenuhi panggilan Puspom Mabes TNI untuk dimintai keterangannya sebagai saksi terkait kasus Helikopter AugustaWestland (AW101).
"Klien kami belum memenuhi panggilan karena surat panggilan tersebut tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer. Kami sudah menyampaikan surat tanggapan atau jawaban atas panggilan tersebut," kata Teguh saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Jumat (24/11/2017).
Menurutnya, ada dua surat panggilan yang dilayangkan kepada Agus, pertama sebagai saksi untuk tersangka Letkol Adm Wisnu Wicaksono sesuai Nomor: PGL-145/VIII/2017 tanggal 4 Agustus 2017.
Yang kedua surat panggilan kedua, Nomor: PGL-151/VIII/2017 tanggal 10 Agustus 2017 dan telah diberikan jawaban dan/atau tanggapan berdasarkan surat tim kuasa hukum Nomor: 001/Iit/ULO/VIII/2017 tanggal 14 Agustus 2017 yang telah diterima oleh POM TNI.
Teguh menjelaskan, surat panggilan bukanlah surat korespondensi biasa, tapi merupakan tindakan negara dalam kekuasaan yudikatif yang masuk dalam administrasi pro justisia.
Baca: Kapolda Metro Pamer Dua Pelaku Terduga Penyiraman Novel Baswedan
Untuk itu, yang berwenang memanggil saksi dalam perkara A-quo adalah penyidik sesuai UU Nomor 31/2017.
"Dasar tindakan negara dalam melaksanakan azas presumption of quilty (azas patut diduga bersalah) yaitu adanya kebijakan berupa surat perintah penyidikan (Sprindik) kepada penyidik, maka dalam surat panggilan harus dicantumkan Sprindik tersebut. Faktanya, surat panggilan A-quo tidak ada dicantumkan Sprindik," katanya.
Lebih lanjut, Teguh menjelaskan surat panggilan tersebut tidak menjelaskan dugaan pasal dan UU mana yang disangkakan kepada tersangka Letkol Wisnu, baik dugaan insubordinasi maupun tindak pidana korupsi sehingga membingungkan apa pokok rumusan pidana yang sedang disidik.
"Karena rumusan delik ditentukan dalam kalimat yang rinci dan telah tercantum dalam Undang-undang," katanya.
Menurutnya, berdasarkan Pasal 103 ayat (4) UU Peradilan Militer disebutkan bahwa panggilan kepada tersangka atau saksi prajurit melalui komandan/kepala kesatuan yang secara teknis dilaksanakan dengan penerbitan Sprin (surat perintah) dari Ankum.
Sementara dalam hukum formil ditentukan juga bila mana patut diduga terjadi suatu peristiwa pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh sipil dan Militer.
Maka, sesuai Pasal 89 KUHAP, Pasal 198 UU Nomor 31/2017, Pasal 16 UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Intinya, sebelum melaksanakan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga dilakukan oleh seseorang yang tunduk pada peradilan militer dan seorang lainnya tunduk pada peradilan umum. Maka, arus terlebih dahulu dibentuk Tim Peradilan Koneksitas yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.
"Menurut hemat kami, penegakan hukum yang dilaksanakan oleh POM TNI dihubungkan dengan penetapan tersangka sipil oleh KPK dalam suatu perkara yang sama adalah prematur, bahkan melanggar ketentuan hukum diatas," kata Teguh.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.