Sebagian Korban Penyanderaan di Papua Alami Cemas Berlebihan
Tim LDP terdiri dari Tim Kementerian Sosial RI, Sakti Peksos Kab. Mimika, Guru, Relawan 1000 guru untuk Papua, Pramuka, PMI, Tagana
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Hasil rapid assessment yang dilakukan Tim Layanan Dukungan Psikososial (LDP) Kementerian Sosial menunjukkan bahwa para penyintas mengalami cemas dan rasa takut berlebihan.
"Anak-anak ketakutan mendengar suara keras seperti suara teriakan dan mereka akan segera berlari" ujar Koordinator LDP Milly Mildawati di tempat pengungsian Eme Neme Yauware.
Pengalaman yang dialami anak-anak selama penyanderaan ketakutan mendengar suara tembakan, kekurangan pasokan makan karena akses keluar masuk desa dijaga oleh kelompok kriminal bersenjata.
Sedikitnya ada 1.300 orang dari dua desa, yakni Desa Kimbely dan Desa Banti, Kecamatan Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, dilarang keluar dari kampung itu oleh kelompok kriminal bersenjata sejak Kamis (9/11/2017) lalu.
Setelah aparat TNI dan Polri berhasil mengevakuasi warga dari Kampung Banti dan Kimbeli di Distrik Tembagapura, Kementerian Sosial segera menurunkan Tim LDP ke lokasi pengungsian untuk melakukan pendampingan kepada korban penyanderaan.
Tim LDP terdiri dari Tim Kementerian Sosial RI, Sakti Peksos Kab. Mimika, Guru, Relawan 1000 guru untuk Papua, Pramuka, PMI, Tagana dan Relawan Pekerja Sosial.
"Setelah dilakukan LDP, warga merasa tenang di pengungsian, setelah sebelumnya selalu merasa ketakutan dalam masa penyanderaan", ujar Milly.
Kebutuhan makan tercukupi, lanjut Milly, setelah selama hampir dua minggu kekurangan makan karena akses keluar masuk desa dijaga oleh Kelompok Bersenjata.
Untuk pemenuhan kebutuhan makan, disesuaikan dengan kebiasaan makan sehari-hari di pegunungan, seperti ubi-ubian, ayam dan lalapan.
Warlex (9 tahun) merasa senang dapat mengungkapkan perasaanya "Saya sangat gembira bisa menulis apa yang saya rasakan. Saya ingin segera pulang ke rumah agar bisa main bola dengan teman-teman", ungkapnya.
Upacara bakar batu yang merupakan kearifan lokal dilakukan sebagai simbol/bentuk rasa syukur dari penerimaan masyarakat Timika terhadap penyintas yang berasal dari Desa Banti dan Kimbeli.
"Kegiatan diikuti oleh semua Penyintas dan bisa mengurangi kecemasan dan ketakutan mereka, dan juga memberikan rasa tenang karena sudah secara adat diterima oleh masyarakat Timika", pungkas Milly.