Pertimbangan MK Tolak Uji Materi Ketentuan Pengunduran Diri Anggota Legislatif Dalam UU Pilkada
Pemohon yakni Anggota DPRD Riau 2014-2019 dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Wahid.
Penulis: Eri Komar Sinaga
Editor: Adi Suhendi
![Pertimbangan MK Tolak Uji Materi Ketentuan Pengunduran Diri Anggota Legislatif Dalam UU Pilkada](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/pembacaan-amar-putusan-di-mahkamah-konstitusi_20171128_120336.jpg)
Laporan wartawan Tribunnews.com, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi menolak untuk seluruhnya judicial review atau uji materi ketentuan pengunduran diri anggota legislatif dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Pemohon yakni Anggota DPRD Riau 2014-2019 dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Abdul Wahid.
Dalam permohonannya, Abdul mengatakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU 10/2016 merugikan Pemohon karena menyebabkan Pemohon harus kehilangan masa jabatannya sebelum masa jabatan tersebut berakhir.
Baca: Rencana Politikus PKB Calonkan Diri Dalam Pilgub Riau Terkendala Setelah Ada Putusan MK
Menurut Pemohon, anggota legislatif tidak dapat disamakan dengan ketentuan TNI/Polri atau PNS yang harus mundur jika ingin ikut dalam jabatan publik.
Terkait dalil tersebut, Mahkamah merujuk pada putusannya Putusan Nomor 45/PUU-VIII/2010, bertanggal 1 Mei 2012 yang kemudian dirujuk dalam Putusan Nomor 12/PUU-XI/2013, bertanggal 9 April 2013, selanjutnya dirujuk kembali dalam Putusan Nomor 57/PUUXI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, dan terakhir dirujuk pula dalam Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014 tanggal 8 Juli 2015.
Baca: Uji Materi Ditolak MK, Anggota Legislatif yang Menjadi Calon Kepala Daerah Harus Mengundurkan Diri
Dalam ketiga putusan tersebut, Mahkamah menyatakan pendiriannya bahwa ketika seseorang telah menjadi PNS maka ia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan.
Sehingga, pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, dalam hal ini sebagai calon anggota DPD.
"Meskipun konteks putusan di atas adalah pengunduran diri PNS yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPD, esensinya tidak berbeda dengan permohonan a quo karena baik DPD maupun kepala daerah adalah sama-sama merupakan jabatan politik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected official)," kata hakim anggota Aswanto saat membacakan pertimbangan Mahkamah, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (28/11/2017).
Lebih lanjut menurut Aswan, ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf s Undng-Undang Nomor 10 tahun 2016 merupakan bentukan dari DPR bersama Presiden yang merujuk pada Putusan Mahkamah Nomor 33/PUU-XIII/2015 terkait dengan ketentuan persyaratan calon kepala daerah bagi anggota legislatif.
Pasal tersebut sebelum diubah sebelumnya berbunyi bahwa pencalonan menjadi calon kepala daerah hanya memberitahukan pencalonannya kepada Pimpinan DPR bagi anggota DPR, kepada Pimpinan DPD bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD.
Aturan itu kemudian diubah oleh DPR bersama Presiden menjadi menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.
"Sehingga Pemohon tidak relevan lagi untuk mempersoalkan norma tersebut oleh karena itu dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum," kata Aswanto.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.