Anggota Wantimpres: Piagam Madinah Wujud Kebangsaan dan Nasionalisme
Anggota Wantimpres Sidarto Danusubroto mengatakan kegiatan memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya merupakan...
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Wantimpres Sidarto Danusubroto mengatakan kegiatan memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW pada hakikatnya merupakan momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk meneladani Rasululah dalam mencintai sesama dan semesta.
"Nabi cinta kepada tanah airnya, baik Mekkah maupun Madinah. Kebangsaan dan nasionalisme adalah sunnah Nabi. Cinta tanah air (nasionalisme) adalah fitrah dan naluri yang Allah sematkan secara kuat di dalam diri manusia. Sebaliknya, penolakan dan antipati terhadap kebangsaan/nasionalisme (sebagaimana doktrin kalangan radikal-ekstrem) justru bertentangan dengan fitrah suci tersebut dan tidak memiliki landasan sama sekali di dalam Islam, baik secara doctrinal maupun historikal," katanya saat acara tausiah kebangsaan &dzikir bersama dengan para Kyai se-Jawa Barat di Ponpes Al Ghadier, Kempek, Cirebon, Kamis (28/12).
Baca: Ki Kusumo Ramalkan Hubungan Gelap Pejabat dan Artis Terkuak di 2018
Dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunnews, Sidarto mengatakan, akar dari nasionalisme di Indonesia adalah tumbuh dari agama. Istilah “hubbul wathan minal iman” merupakan benih perasaan nasionalisme bangsa Indonesia. Metode penyebaran Islam di Indonesia berlangsung secara damai tanpa meninggalkan budaya masyarakat yang ada.
"Nilai-nilai jati diri bangsa kita tertuang dalam Pancasila. Semangat nasionalisme inilah yang harus terus dipupuk," lanjut politisi senior PDIP ini.
Ia memaparkan setelah hijrah, atas inisiatif stategis Nabi, terjadilah apa yang disebut oleh para sarjana sebagai Eksperimen Madinah, dengan produk monumentalnya berupa “Piagam Madinah (Konstitusi Madinah)”.
Yang pasti, Eksperimen Madinah ini telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal konsep pendelegasian wewenang, di mana wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada dictatorial system, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah dan kehidupan berkonstitusi.
“Artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak berada pada selera keinginan dan keputusan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati dan ditaati bersama oleh seluruh warga negara,” ucap Sidarto.
Karena itu, Sidarto mengingatkan momentum Maulid Nabi Besar Muhammad SAW seharusnya bukan bersifat seremonial tahunan tanpa makna, melainkan pentingnya konteks berbangsa dan bernegara yang merupakan makna substansial dari peringatan Maulid Nabi.
“Konstitusi/Piagam Madinah adalah embrio dari civil society. Inilah yang telah, sedang dan terus kita perjuangkan, kita jalankan dan kita jaga di Indonesia. Maka, merawat Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika , NKRI, UUD 1945 adalah sama dengan merawat dan menumbuhkembangkan bibit peradaban berbangsa dan bernegara yang telah ditanam oleh Rasulullah SAW sejak 1439 tahun yang lalu. Kita sedang mengikuti jejak sunnah Rasulullah SAW,” ujarnya.