Forum Internet Internasional, Akses Kebenaran dan Kebohongan
Media online berubah dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir. Ini membuat pemerintah dan pembuat aturan harus berjuang mengejar ketinggalannya.
Editor: Content Writer
Pernahkah Anda berpikir kalau akses internet seharusnya adalah hak asasi manusia?
Media online berubah dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir. Ini membuat pemerintah dan pembuat aturan harus berjuang mengejar ketinggalannya.
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Asia Calling produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Saat ini penyebaran berita palsu sangat masif di dunia maya. Ambil contoh soal Clinton dan Trump, atau pemilu Prancis. Tak butuh waktu lama, pembicaraan soal topik-topik itu akan berubah menjadi berita palsu.
Banyak yang khawatir dengan munculnya berita palsu dan bagaimana rumor online ini berdampak besar di dunia nyata.
Tapi bagi jurnalis Maria Salam, bahaya itu di depan mata. Berita palsu menimbulkan kekerasan dan mengancam kehidupan di negara asalnya, Bangladesh. “Sejumlah rumah dan kuil Hindu dirusak orang-orang di lima desa di Bangladesh tengah. Penyebabnya sebuah tulisan palsu di Facebook,” kata Maria Salam.
Lima kuil terbengkalai dan ratusan orang mengungsi menyelamatkan diri. “Belakangan diketahui kalau akun itu dibuat dengan menggunakan nama dan foto seseorang yang bahkan tidak tahu cara menggunakan Facebook,” jelas Maria Salam.
Media sosial tidak diatur seperti halnya media konvensional. Tidak ada pemeriksaan kualitas dan akurasi.
Media sosial punya kekuatan dan kelemahan. Di satu sisi, itu tempat berkembang biak informasi palsu. Di sisi lain, lewat media sosial, jurnalis dan aktivis menemukan cara baru untuk memobilisasi massa.
Maria Ressa adalah bekas kepala biro Jakarta untuk CNN. Tahun 2012, dia meninggalkan media itu untuk memulai situs berita online, Rappler.
“Saya lelah melempar cerita ke dalam lubang hitam. Maksud saya, Anda membuat sejumlah cerita. Tapi jika Anda bekerja untuk CNN, Anda akan sangat jarang melihat dampaknya pada budaya atau masyarakat Anda,” tutur Maria Ressa.
Maria ingin membuat forum online di mana jurnalis profesional, jurnalis warga dan orang biasa bisa ikut serta dalam percakapan yang berarti.
“Ketika kami mendirikan Rappler, kami mencoba untuk mencari tahu bagaimana teknologi baru ini bisa benar-benar membantu jurnalis menciptakan komunitas aksi yang akan membawa dampak nyata bagi dunia.”
Meski Maria menyukai kemungkinan debat terbuka dan tidak adanya penjaga gerbang di internet, dia juga menghadapi sisi gelapnya.
“Ketika mereka mengatakan sesuatu di media sosial, mereka bisa benar-benar jahat. Mereka tidak akan bilang 'Saya tidak setuju denganmu Maria'. Tapi mereka akan bilang ‘kamu yang seharusnya dibunuh, kamu yang harus diperkosa.’ Serangan itu ganas dan tujuannya untuk membungkam,” jelas Maria Ressa.
Menyensor konten secara efektif di internet adalah tugas yang sangat besar dan berat.
Di Malaysia, karena pemerintah merasa tidak bisa menyensor maka mereka bertindak langsung. Tahun lalu, beberapa situs berita ditutup setelah mereka melaporkan soal korupsi. Para blogger dan pembangkang anti-pemerintah juga diintimidasi.
Penulis dan aktivis Malaysia, Jac Sm Kee, mengatakan serangan terencana sedang dilancarkan terhadap kebebasan berekspresi secara online. “Ada banyak upaya untuk mengubah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia agar lebih menghukum aktivitas orang secara online.” kata Jac.
Undang-undang itu mengelompokkan komunikasi yang bisa dianggap menyinggung atau menimbulkan gangguan. Tapi sifatnya luas dan terbuka terhadap interpretasi subyektif. Ini bahkan bisa digunakan sebagai senjata politik.
Jac Sm Kee bersama timnya mengembangkan Prinsip Feminis di Internet. Tujuannya mengakhiri diskriminasi dengan menggunakan teknologi.
“Kita membutuhkan aturan soal hak dan kebebasan internet. Kita tidak bisa duduk di sini dan bereaksi terhadap apa pun yang dikatakan pemerintah soal apa yang boleh dan tidak di internet,” jelas Jac.
Jac dan timnya menentang budaya seksisme dan berupaya memujudkan akses internet yang tidak terbatas untuk perempuan dan LGBT.
Masih banyak keraguan kemanakah internet akan membawa kita di masa depan: Haruskah ada tatanan atau anarki? Siapa yang harus memutuskanya, individu atau pemerintah?
“Sebuah tatanan baru perlu diterapkan. Tapi siapa yang mengendalikan tatanan itu? Saya tidak UU bisa melakukannya. Kepercayaan perlu dibangun kembali tapi bagaimana caranya?” kata Maria Ressa.
Satu hal yang disepakati di Forum Internet Stockholm: Akses internet harus diabadikan sebagai hak asasi manusia. Itu berarti semua orang bisa mengakses internet tanpa ada alasan tidak mampu membayar.