Periode 2016-2017, BPOM Temukan Produk Impor Ilegal Senilai Ratusan Miliar
Hal itu diungkapkan Kepala BPOM RI Penny Kusumastuti Lukito dalam acara dengar pendapat dengan Komisi IX DPR-RI di Jakarta, Selasa (13/2/2018).
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bekerja sama dengan aparat keamanan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI berhasil menemukan produk impor ilegal berupa bahan baku obat, bahan pangan dan kosmetik senilai Rp 146,88 miliar selama periode 2016-2017.
Hal itu diungkapkan Kepala BPOM RI Penny Kusumastuti Lukito dalam acara dengar pendapat dengan Komisi IX DPR-RI di Jakarta, Selasa (13/2/2018).
Baca: Sejumlah Hal yang Anda Mungkin Lupa Dari Fachri Albar
Dikatakan Penny, rincian nilai impor produk ilegal tersebut berupa obat Rp 6,38 miliar, suplemen makanan Rp 53 miliar, kosmetik Rp 78 miliar dan bahan pangan Rp 9,5 miliar.
Produk impor ilegal ini berasal dari Singapura, Malaysia, Thailand, India dan Tiongkok yang masuk melalui pelabuhan di Kalimantan Timur, Kepulauan Riau maupun jalur darat di perbatasan Kalimantan Barat.
Menurut dia, kebanyakan produk ilegal masuk ke Indonesia melalui perorangan karena perilaku pasar masyarakat.
Selain ketergantungan dan kebiasaan masyarakat terhadap produk tanpa izin edar serta disparitas harga, aturan Pemda atau lintas negara yang dinilai tidak relevan lagi, sehingga perlu diperkuat lagi kerja sama lintas sektoral di perbatasan.
Dalam kerjasama lintas sektoral dalam pengawasan dan penindakan di daerah perbatasan, BPOM RI selama ini telah menjalin komunikasi dengan Kepolisian RI, Ditjen Bea dan Cukai, dan Kementerian Dalam Negeri.
Selain itu, untuk meningkatkan kualitas layanan publik, BPOM RI telah melakukan debirokritiasasi dengan mewujudkan sistem Pelayanan Prima yang mencakup penambahan jadwal layanan, bimbingan teknik dan coaching clinic.
Tidak hanya itu. Untuk peningkatan kualitas pelayanan publik, penggunaan teknologi informasi (e-registrasi dan QR-Code) terus dilakukan tidak hanya untuk percepatan registrasi dan perijinan, tetapi juga peningkatan efektivtas pengawasan dan transparansi.
Untuk efektivitas, percepatan dan transparansi ini pula BPOM juga melakukan revisi dan penyusunan regulasi baru, perbaikan manajemen, dan infrastruktur pendukung.
“Semuanya ini bertujuan menciptakan transparansi proses dan percepatan registrasi dan akses masyarakat pada produk bermutu dan aman,” ujar Penny.
Dalam kesempatan itu, ia juga menyinggung soal produk suplemen yang mengandung DNA Babi (Enzyplex dan Viostin DS).
Dikatakan, kronologi sejak pre-market (registrasi) produk itu sudah memenuhi ketentuan, dengan bahan berasal dari sapi.
Namun permasalahan muncul setelah produk diedarkan, yang kemudian dilakukan pengawasan post-market, BPOM RI melakukan sampling terhadap barang yang beredar sehingga ditemukan ada beberapa batch yang terindikasi mengandung DNA babi.
Selanjutnya diberikan sanksi yaitu penarikan barang yang beredar dari suplemen yang terindikasi mengandung DNA babi, serta penarikan Ijin Edar Produk tersebut.
Publikasi terhadap adanya kandungan DNA babi dalam produk dan tindak lanjut serta pemberian sanksi baru akan dipublikasikan setelah didapatkan data pendukung yang lengkap untuk dapat diinfokan pada publik untuk perlindungan dan edukasi.
Namun langkah BPOM RI sudah memberikan peringatan keras terhadap perusahaan yang mengedarkan, dan penarikan produk dari pasar dan penarikan nomor izin edar (NIE) produk tersebut.
Sementara itu, Ketua Komisi IX DPR-RI Dede Yusuf “Macan” Effendi sangat menyambut baik upaya BPOM RI untuk memperketat pengawasan di daerah perbatasan.
Dia menilai, daerah perbatasan harus menjadi prioritas BPOM RI dalam alokasi pembangunan Balai Besar POM di tahun ini.
“Kita harap dari 50-an balai POM yang akan dibangun pada tahun ini, daerah perbatasan jadi prioritas. Contohnya, perbatasan Malaysia saja, sepanjang Kalimantan ada berapa balai POM yang diperlukan,” ujar Dede.