''Sebagai Mantan Wartawan, Saya Paham dan Tahu Persis Mana Kritik dan Mana Penghinaan''
Bamsoet menyebut kritikan harus diberikan untuk melihat apa yang harus diperbaiki oleh para wakil rakyat.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyoroti pandangan sejumlah pihak pasca disahkannya Revisi Undang-undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (RUU MD3) menjadi UU MD3.
Ia menegaskan bahwa parlemen tetap membutuhkan kritik dari masyarakat maupun media massa.
Menurutnya, para anggota dewan tidak akan mengetahui tanggapan mengenai hasil kinerja mereka jika tidak ada kritikan.
Bamsoet menyebut kritikan harus diberikan untuk melihat apa yang harus diperbaiki oleh para wakil rakyat.
"Bagaimana kita tahu apa yang harus diperbaiki dari DPR, kalau tidak ada kritik?," ujar Bamsoet, Kamis (15/2/2018).
Mantan Ketua Komisi III itu secara tegas menekankan bahwa kritik adalah hal yang berbeda dengan penghinaan maupun fitnah.
"(Kritik) berbeda dengan penghinaan, penistaan, pelecehan ataupun fitnah," tegas Bamsoet.
Baca: Budi Gunawan: BIN Telah Prediksi Kekerasan Tokoh Agama Marak
Politisi Golkar tersebut kemudian menekankan bahwa dirinya sangat paham pernyataan bernada kritikan maupun penghinaan.
Ia membeberkan bahwa selain pernah menjabat sebagai Ketua Komisi III yang membidangi hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keamanan, dirinya juga pernah berprofesi sebagai seorang wartawan.
Sehingga ia bisa membedakan anatara dua hal tersebut.
"Sebagai mantan Ketua Komisi III dan wartawan yang bekerja berdasarkan kode etik jurnalistik dan UU Pers, saya paham dan tahu persis mana kritik, mana penghinaan dan fitnah," kata Bamsoet.
Usai disahkannya UU MD3, sejumlah pengamat pun menilai DPR tengah mencari keuntungan dari pengesahan itu.
Seperti yang disampaikan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus.
Ia menilai Revisi Undang-undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (RUU MD3) ditunggangi sejumlah kepentingan politik.
Menurutnya sebelum disahkan, dalam RUU MD3 tersebut dimasukkan sejumlah pasal yang diklaim hanya bertujuan untuk menguntungkan DPR.
Penambahan pasal-pasal itu diantaranya hak imunitas, seperti upaya pemanggilan paksa.
"Ini menunjukkan sejak awal dengan revisi ini, hasilnya menguntungkan mereka, bukan revisi untuk memperkuat lembaga DPR, MPR, DPD," kata Lucius, Minggu (11/2/2018).