Mengapa Isu SARA dan Hoaks Laku Dijadikan sebagai Komoditi Politik?
Kemungkinan besar perbedaan identitas agama dan etnis masih akan dipakai di Pilkada serentak tahun 2018 dan Pemilihan Presiden 2019.
Editor: Hasanudin Aco

Baca: 24 Jam Sehari, 7 Hari Seminggu, Polisi Pantau Akun Penyebar Hoax dan Ujaran Kebencian
"Tetapi sejarah kekerasan masyarakat dan ketegangan baru-baru ini antara Dayak dan Melayu membuat para pejabat setempat harus lebih berhati-hati mengawasi untuk memastikan keadaan tetap aman."
Sebagian pihak memandang kecenderungan penggunaan politik identitas ini terkait dengan kemajemukan masyakarat di Kalbar, dan hal ini juga terjadi di Sumatera Utara misalnya.
Pertarungan diperkirakan juga akan sengit di Jawa Barat, Tengah dan Timur. Berbagai kelompok yang bersaing akan menggunakan berbagai cara, termasuk memakai unsur SARA.
Pandangan badan analisa kebijakan konflik (IPAC) terkait Kalimantan Barat di atas, tidak disepakati Djayadi karena di provinsi tersebut keberpihakan pemilih sudah jelas sehingga isyu SARA tidak akan begitu kuat.
"Di Kalimantan Barat pemilih Muslimnya ada sekitar 60%, pemilih non Muslimnya ada sekitar 40%. Kemungkinan calon Muslim akan lebih banyak mendapat dukungan dari kalangan pemilih Muslim. Calon non-Muslim, dukungannya akan terpecah. Sehingga isu-isu agama seperti 'Pilihlah Muslim, Bukan Non-Muslim' atau sebaliknya, itu tidak akan terlalu kencang berhembus," kata Djayadi dari SMRC.
Penggunaan identitas agama dan etnis ini dipandang semakin kuat sejak tahun 2014 setelah semakin berpengaruhnya berita bohong yang beredar di media sosial seperti Facebook, Whats App, BBM dan Instagram misalnya.
Baca: Din Syamsudin: Kok Tiba-tiba Muncul Orang Gila Menyasar Tokoh Agama?
Strategi politik seperti ini membuat masyarakat yang sebelumnya cukup toleran, menjadi terpicu hoaks yang disampaikan secara terus-menerus, terutama terkait berbagai masalah peka, kata Veri Junaidi.
"Isu-isu SARA digunakan. Dia tidak berdiri sendiri sebenarnya, tetapi dia diusung dan digunakan dengan menggunakan pemberitaan bohong atau hoaks. Jadi kalau misalnya orang terbuka terkait dengan agama, pada awalnya mungkin bisa sangat toleran terhadap agama.
"Tetapi kemudian ketika isu-isu itu dibungkus dengan berita bohong, masyarakat akan dengan mudah tersulut karena itu kan sebenarnya isyu yang sangat sensitif bagi masyarakat," kata Veri dari KoDe Inisiatif,
Pada tahun 2017, misalnya, Bareskrim Polri mengungkap sindikat Saracen, lewat penangkapan Polda Jawa Barat terhadap seorang penduduk atas dugaan menghina Ibu Negara, Iriana Jokowi, melalui Instagram.
Temuan IPAC juga menyatakan hal yang sama. Dalam laporannya lembaga pemikir ini menyatakan: