Mahyudin Menolak Dipecat dari Wakil Ketua MPR, Ini Alasannya
Sesuai dengan Undang nomor 2 Tahun 2018 pasal 17, pimpinan MPR bisa dilengserkan bila meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar, Mahyudin mengatakan dirinya tidak bisa begitu saja dilengserkan sebagai pimpinan MPR.
Terdapat tiga syarat dirinya bisa dilengserkan sebagai pimpinan MPR.
Sesuai dengan Undang nomor 2 Tahun 2018 pasal 17, pimpinan MPR bisa dilengserkan bila meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Selain itu, menurut Mahyudin dirinya bisa dilengserkan sebagai pimpinan MPR bila diberhentikan sebagai anggota DPR/MPR atau anggota partai Golkar.
"Saya kira DPP Golkar tidak semudah itu untuk memecat anggotanya di DPR kalau enggak ada hal yang krusial seperti terkena korupsi, dan sebagainya," ujar Mahyudin di ruang kerjanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (19/3/2018).
Baca: Airlangga Sambangi Kediaman Zulkifli Bahas Pergantian Mahyudin
Menurut Mahyudin, bila partai melakukan pemberhentian atau pergantian antar waktu tanpa alasan yang jelas, maka akan melanggar hak asasi manusia.
"Harus ada alasan, tak mungkin tak ada alasan, kalau orang di berhentikan tanpa ada alasan itu pelanggaran HAM namanya, ada UU nya. Kalau di partai itu diberhentikan keanggotaannya apabila melanggar AD/ART, tindak pidana, atau kalau di DPR dia dihukum oleh MKD bisa, selain itu engga bisa, tentu berimplikasi pada persoalan hukum," katanya.
Selain itu menurut Mahyudin bila dirinya dipaksakan diberhentikan maka akan berimpilkasi pada persoalan hukum.
Hal tersebut seperti yang terjadi pada Fahri Hamzah dengan partainya yakni PKS.
"Saya pikir begini, DPP tak bisa melakukan hal itu terhadap saya, saya pejuang juga di Golkar, dari mulak Ketu Golkar di tingkat kecamatan, kabupaten, DPP dan sekarang saya wakil ketua dewan pakar," pungkasnya.
Berdasarkan UU nomor 2 tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD ( MD3) pasal 17 ayat 1, Pimpinan MPR berhenti dari jabatannya karena: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; atau c. diberhentikan. Pada ayat (2) Pimpinan MPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila: a. diberhentikan sebagai anggota DPR atau anggota DPD; atau b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai pimpinan MPR.