Abdul Fickar Sebut Kesaksian Setnov Belum Bisa Jadi Fakta Kebenaran, Ini Alasannya
"Dalam konteks yang disebutkan oleh Setnov bisa menjadi fakta hukum jika sudah dikonfirmasi oleh saksi-saksi yang disebut."
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai kesaksian terdakwa kasus eKTP Setya Novanto yang menyebut dua politikus PDI Perjuangan, Puan Maharani dan Pramono Anung menerima 500 ribu dolar AS belum bisa menjadi fakta kebenaran.
"Dalam konteks yang disebutkan oleh Setnov bisa menjadi fakta hukum jika sudah dikonfirmasi oleh saksi-saksi yang disebut Setnov yakni Made Oka Masagung dan Andi Narogong. Hal ini menjadi mutlak karena belum tentu yang dikemukakan terdakwa Setnov suatu fakta kebenaran," kata Abdul Fickar, Jumat (23/3/2018).
Baca: Tak Hanya Nagita dan Jessica Mila, Rio Motret Ajak Deretan Artis Lakukan Pemotretan Bertema Silver
Sebelumnya pada persidangan Rabu 14 Maret 2018 lalu, Direktur PT Delta Energy, Made Oka Masagung yang menjadi saksi Setnov sudah membantah memberikan uang kepada dua orang anggota dewan.
Hal ini dikatakan Made Oka saat dikonfrontir dengan Setnov.
"Pak Made Oka dan Andi pernah ke rumah saya akan menyerahkan uang kepada anggota dewan yakni dua orang yang sangat penting, apakah masih ingat, Pak?," tanya Setnov.
"Engga ingat, saya tidak pernah kasih. Tidak ada," jawab Made Oka.
Bahkan keponakan Setnov, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo yang juga menjadi saksi pada 14 Maret lalu dan disebut Setnov sebagai kurir dari Made Oka dan Andi Narogong untuk mengantarkan uang kepada anggota dewan juga membantahnya.
"Yang saya ingat, saya tidak mendapatkan pekerjaannya. Kalau yang dibilang Andi meminta saya serahkan uang ke anggota dewan juga tidak pernah ada," kata Irvanto
Menanggapi hal ini, Abdul Fickar mengatakan pernyataan Setnov yang sudah dibantah oleh Made Oka dan Irvanto menjadi informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
"Itu sangat mungkin menjadi keterangan palsu jika tidak bisa dipertanggung jawabkan sumbernya, walaupun info itu bersifat de auditu (katanya orang)," jelasnya.
Lebih jauh, dia menjelaskan informasi yang diberikan Setnov harus terus dikejar dari siapa sebenarnya info tersebut didapatkan. Karena ada konsekuensi yuridis yang harus ditanggung baik info itu dikarang sendiri atau didapat dari orang lain.
"Jika benar info itu tidak benar, tidak ada alasan untuk memeriksa lebih lanjut perkembangan fakta itu," ungkapnya.