NU dan Muhammadiyah Ajak Masyarakat Waspadai Politik SARA
Padahal, kita seharusnya selalu bersyukur karena dengan kedamaian yang ada selama ini, masyarakat bisa tenang
Editor: Husein Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Politik berbau SARA yang belakangan ini makin menguat, dinilai sudah mulai mengkhawatirkan dan bisa mengancam bangunan kebhinekaan Indonesia. Kemajuan teknologi membuat setiap orang bisa dengan mudah mengakses semua informasi lewat media sosial.
Namun tanpa saringan yang kuat akhirnya justru membuat banyak orang sekarang ini menjadi mudah marah, mudah membenci bahkan mencaci maki, hanya karena perbedaan pandangan.
Dan ini berpotensi memecah kerukunan antar masyarakat maupun antar umat beragama.
Padahal, kita seharusnya selalu bersyukur karena dengan kedamaian yang ada selama ini, masyarakat bisa tenang dalam melakukan semua aktifitasnya.
Hal tersebut mencuat dalam diskusi bertema “Merawat Keindonesiaan di Tengah Ancaman Politik Sara", di Pesantren Ekonomi Darul Ukhuwah, Kedoya, Jakarta, Jumat (6/4) malam.
Diskusi yang digelar bersama oleh 2 ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ini menghadirkan pembicara antara lain Ketua PBNU Dr. KH. Marsudi Syuhud, Katib Syuriah PBNU Dr. KH. Mujib Qulyubi, Ketua PP. Muhammadiyah Drs. Hajriyanto Y. Thohari MA dan intelektual muda Muhammadiyah Fajar Riza Ul Haq.
Menurut KH. Mujib Qulyubi, Indonesia sangat rentan terjadi perpecahan karena sangat majemuk dengan beragam suku, agama, etnis dan sebagainya.
"Nah.., NU dan Muhammadiyah akan selalu berupaya menjadi penyangga persatuan dan kesatuan Indonesia," tegasnya.
Agama dan nasionalisme, kata Mujib, adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama, dan keduanya saling menguatkan.
Orang yang nasionalis perlu topangan agama yang kuat, dan orang yang mengamalkan agama perlu membuat bangsanya aman dan damai agar bisa beribadah dengan tenang.
Menurut Mujib, tidak boleh negaranya maju tapi agamanya ditinggal, atau sebaliknya, agamanya maju tapi kenegaraannya ditinggal.
"Kita harus belajar dari lima negara di Timur Tengah yaitu Suriah, Irak, Afghanistan, Yaman dan Somalia, yang dilanda perang saudara, saling bunuh dan tak kunjung damai. Padahal itu negara islam. Syekh nya banyak, kyainya banyak, dan organisasi islamnya banyak. Tapi mereka tidak pernah bisa tenang bekerja atau beribadah, karena konfliknya nggak selesai-selesai. Apa kita mau jadi seperti itu," kata Mujib.
Makanya, lanjut dia, NU dan Muhammadiyah selalu berteriak pada pemerintah agar bersungguh-sungguh dalam melakukan upaya mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, agar kesenjangan sosial dan ekonomi bisa segera teratasi dengan baik.
"Karena biang kerok masalah yang terjadi di negeri kita ini adalah kesenjangan ekonomi. Nah itu akhirnya membias kemana-mana, termasuk ke agama," ujarnya.
Hal senada juga dikatakan Hajriyanto Thohari, yang menyebut saat ini banyak kelompok yang tidak memahami kompleksitas kemajemukan di Indonesia.
Masyarakat, kata dia, harus memahami bahwa Indonesia ini bukan merupakan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Indonesia berada ditengah antara keduanya. Oleh karena itu, kata Hajriyanto, Indonesia harus memiliki pemimpin yang punya sensitifitas dalam menyikapi kemajemukan indonesia.
"Kalau terlalu ke kanan akan jadi heboh, karena akan memicu sensitifitas aliran maupun kelompok dalam agama. Sebaliknya, kalau terlalu sekuler bisa menjadi skandal. Dia perlu paham, apakah negara ini miring ke kiri atau ke kanan. Membicarakan agama lalu dituduh SARA, itu juga tidak sensitif, karena dia bisa dituduh sekuler," pungkasnya.