Putusan PN Jaksel Minta KPK Tersangkakan Boediono Dinilai Aneh
Ketua DPP PKS Almuzamil Yusuf menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) mentersangkaka
Penulis: Taufik Ismail
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPP PKS Almuzamil Yusuf menilai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) mentersangkakan mantan Wakil Presiden Boediono, cukup aneh.
Pasalnya proses penetapan tersangka, biasanya dimulai dari penyidik yakni kepolisian, kejaksaan, atau KPK.
Baca: Kang Uu Teladani Sikap Tokoh Perjuangan Agama di Bekasi
"Putusan PN Jaksel ini cukup aneh lah perlu kita dalami sampai pada menersangkakan. Biasanya tersangka prosesnya dari kepolisian dan kejaksaan, kenapa ini datangnya dari pengadilan," ujar Almuzammil di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (12/4/2018).
Sebelumnya PN Jaksel mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Salah satu putusannya yakni meminta KPK mentersangkakan Boediono berserta sejumlah orang lainnya yakni Muliaman Darmansyah Hadad, Hartadi, Miranda Gultom, dan Raden Pardede.
"Kalau KPK punya data tak harus datang dari perintah pengadilan. Mereka kan punya data, silakan berjalan. Tapi kalau dari pengadilan itu yang kita dalami, kok pengadilan yang memposisikan orang jadi tersangka. Selama ini baru dengar seperti itu. KPK bisa bejalan dengan data yang dimilikinya, tidak gara gara melalui apa yang diperintah pengadilan," katanya.
Oleh karena itu dengan putusan PN Jaksel tersebut, Almuzamil akan meminta Komisi III untuk membahasanya dengan Mahkamah agung dan mitra kerja lainnya.
"Mungkin dalam rapat kami di komisi III untuk kita dalami dengan MA, Kepolisian, Kejaksaan dengan KPK juga, termasuk di dalamnya. Masih kajian kami," pungkasnya.
Baca: Ini Curahan Hati Nadia Mulya Saat Bertemu Ayahnya dan Boediono Di LP Sukamiskin
PN Jaksel memerintahkan KPK untuk mentersangkakan Boediono yang saat itu menjabat gubernur Bank Indonesia. Ia dinilai bertanggungjawab dalam Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.