DPR Dorong Aspek Batas Minimal Pendidikan Jadi Syarat Menikah dalam UU Perkawinan
Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Parasong mengusulkan agar unsur batas minimal pendidikan dimasukkan dalam syarat pernikahan.
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher Parasong mengusulkan agar unsur batas minimal pendidikan dimasukkan dalam syarat pernikahan.
Ali Taher mendorong hal itu masuk dalam rencana revisi Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sedang dikomunikasikan dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA).
“Kami mendorong pemerintah melakukan kajian mendalam dalam hal sosiologis untuk membahas apakah batas usia perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan yang ada apakah masih relevan sekarang," kata Ali Taher ditemui di Kompleks DPR RI Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (17/4/2018).
Baca: Mau Tolong Teman, Polisi Dikeroyok Segerembolan Pemuda di Kampung Sejahtera, Senpi Sempat Hilang
Pihaknya juga mendorong agar Kemen PPPA, Kementerian Agama dan Kemenerian Pendidikan dan Kebudayaan mendorong agar jenjang pendidikan dimasukkan dalam syarat perkawinan.
“Minimal mereka menyelesaikan pendidikan jenjang sekolah menengah atas (SMA) sehingga mereka punya kemandirian ekonomi, pengetahuan bagus, punya skill berupa technical skill, managerial skill, dan social skill,” ujar Ali Taher.
Untuk mewujudkan itu Ali memberi gambaran bahwa nantinya pemerintah harus mensosialisasikan manfaat mengenai usulan tersebut.
Ia menyebut orang tua harus memiliki sudut pandang anak-anak harus mempunyai kemandirian jangka panjang sehingga harus menyelesaikan pendidikan terlebih dahulu sebelum menikah.
“Pemerintah harus kaji dinamika di masyarakat yang pasti ada pro dan kontra atas usulan tersebut. Pemerintah harus memberi gambaran kepada orang tua dan calon orang tua bahwa anak mereka harus memiliki kemandirian jangka panjang untuk menghadapi pernikahan, tidak sekedar memandang anak sebagai beban lalu dinikahkan saja, memang masih banyak berkembang anggapan seperti itu,” tegasnya.
Ali Taher mengatakan tidak masalah bila unsur tersebut dipandang memiliki aspek rekayasa politik sosial.